Wednesday, December 25, 2013

Makan Tuh Gengsi :)

Original Post 28 Dec 2012
Sebuah posting menggelitik dari rekan dunia maya saya yang sebenarnya satu almamater ini. Seharusnya saya juga ketemu dia di kampus karena dia dapat gelar tahun 2007. Setidaknya tahun saya sedang giat-giatnya berskripsi ria #halah
Ya, soal pekerjaannya yang ‘hanya’ guru.
Ehm, persoalan ini yang kemudian membawa saya ‘kembali’ ke bagaimana saya bisa sampai ke posisi sekarang ini.
Dimulai dari hampir lulus SMP, ketika orang tua sudah koar-koar bahwa saya hendak disekolahkan ke Jogja. Sesungguhnya saya nggak membayangkan itu sama sekali. Opsi saya memang keluar Bukittinggi, tapi setidaknya ya di Padang sajalah (Don Bosco). Itu di dalam hati. Saya nggak mau malu oleh koar-koar yang sudah beredar sehingga saya mengikuti kehendak bos untuk ke Jogja. Dalam hati juga deg-degan, bagaimana kalau saya nggak masuk sekolah yang dipilih itu? Padahal opsi saya ya cuma 1 itu. Tapi Tuhan masih melindungi saya, dalam sebuah kesempatan yang singkat (dan secepat kilat) saya diterima di SMA Kolese De Britto.
Susah payah akhirnya saya bisa settle di sekolah yang tergolong favorit itu. Ya, susah payah karena seumur-umur belum pernah saya dapat rangking belasan, apalagi puluhan. Dan saya mendapatkannya di tahun pertama. Sampai-sampai, waktu di Cawu 2, saya dapat rangking 11, senangnya minta ampun. Ya, rangking 11 saja saya sudah berasa jadi orang paling bahagia di dunia. Dilanjutkan dengan rangking 22 di kenaikan kelas. Ah, itu kan gara-gara Piala Dunia Korea-Jepang #alasan
Kebangkitan saya di kelas 2, Semester 2. Entah angin darimana, saya akhirnya bisa mendapatkan gairah untuk belajar maksimal. Saya bangun jam 5 pagi setiap hari dan menyempatkan diri belajar. Saya mengulang setiap bahan yang diberikan setiap hari. Ya, sampai sekarang saya bingung kok bisa begitu. Posisi terbaik saya adalah di Mid Semester 2, rangking 5. Itu terbaik karena nomor 1-4 sudah dibooking oleh Erich, Lukas, Bobby, dan satu lagi saya lupa. Di akhir semester, posisi itu diambil kembali sama Cawaz, yang sempat bilang ke saya dulu, “Kok iso e kowe?”
Masuklah penjurusan: IPA-IPS.
Mau dirunut dari segi apapun, jiwa saya ya IPS. Nilai-nilai saya jauhhhhh lebih bagus di IPS alih-alih IPA. Bahkan ada satu pelajaran dimana saya benar-benar merasa menguasai benar: Akuntansi. Saya bahkan bisa mengerjakan seluruh jurnal-jurnal dengan benar pada sekali percobaan. Yeah, ini bukan Excel bro, ini tulis tangan di kertas folio. Bayangkan saja kalau salah! Sampai sekarang, hanya itulah pelajaran yang saya nggak butuh belajar sama sekali sebelum ujian dan saya bisa mendapatkan nilai maksimal. Pak Soemardjo nggak tahu nama saya, tapi dia hafal benar nomor saya. Ya, si II-5 nomor 5.
Tapi..
Di JB itu ada 4 kelas IPA dan 2 kelas IPS. Dan tentu saja stigma anak IPA itu pintar dan anak IPS itu buangan. Itu jauh lebih membayangi pikiran saya daripada deretan nilai-nilai saya. Ya, seumur-umur dapat nilai merah di rapor, ya atas nama pelajaran IPA (Fisika/Kimia, lupa..). Dan nilai-nilai IPS-lah yang menolong hidup saya. Maka, inilah keputusan makan gengsi saya yang pertama.
Masuk IPA.
Dan, tentu saja, saya ngos-ngosan bertemu berlipat Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi. Tapi semangat saya di kelas 2 masih ada, masih utuh sehingga saya bertahan. Prestasi saya cukup baik karena, ehm, saya adalah anak IPA dengan nilai Matematika 5 dan nilai Bahasa Indonesia 8 #tetep
Dan poin utamanya karena saya tidak bimbel sama sekali. #ngiritmodeon
Menjelang lulus, saya dihadapkan pada pilihan makan gengsi berikutnya.
Sebenarnya via jalur pendaftaran ke sekolah-sekolah, saya sudah mencoba mengikuti hati. Ya, saya mendaftar ke Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma, dan saya diterima. Tapi begitu itu slip di tangan, saya bertanya ke teman-teman yang lain dan tampak jelas bahwa saya adalah satu-satunya yang milih jurusan itu.
Mendadak bimbang.
Sejalan dengan upaya saya masuk beasiswa Komunikasi UAJY (yang akhirnya kandas), saya memutuskan untuk tidak melanjutkan pendaftaran saya di Sastra Indonesia itu. Sampai kemudian sesudah UAN, saya mendapati diri belum dapat kampus mana-mana. Maka inilah makan gengsi saya berikutnya.
Saya kembali ke USD, mendaftar lewat jalur biasa, dan mengambil jurusan paling top (biasanya paling mahal). Sebut saj itu Farmasi. Saya cukup pede untuk lolos tes di USD, kenapa? Karena di SMA saya beberapa kali ikut tes serupa dan hasilnya baik. Lagipula dalam timeline yang tepat, saya masih bisa daftar UAJY kalau memang nggak keterima di Farmasi. Di UAJY, entah saya mau pilih apa, lupa..
Dan terjadilah, setelah saya mengabaikan nilai-nilai IPS saya yang baik, saya juga mengabaikan riwayat jurnalisme saya yang memadai di SMA. Ya, di jenjang ini, saya beberapa kali diutus untuk ikut lomba yang berhubungan dengan tulis menulis dan jurnalistik. Beberapa kali dapat gelar, pernah masuk koran meski untuk berita seukuran 10×10 cm #mungil
Terus menerus hingga akhirnya saya sampai di sini, sebagai seorang dengan gelar S. Farm., Apt..
Jadi? Saya menyesali pilihan-pilihan saya gitu?
NGGAK sama sekali. Tapi mungkin saya bisa menjadi pribadi yang berbeda andai opsi-opsi yang saya ambil tahun 2003 dan 2004 itu berbeda. Mau menyesali apa memangnya? Saya mendapat banyak hal dengan pilihan yang saya tempuh sekarang. Termasuk saya bisa mengetik posting ini dengan laptop hasil keringat sendiri.
Satu hal saja, bahwa pilihan atas nama gengsi tidaklah selalu baik. Contoh yang dibawa Miss B1P jelas sekali. Nyatanya dia sekarang bisa bangga dengan pekerjaannya. Sejatinya semuanya berpulang pada bagaimana kita memaknai setiap pilihan yang kita buat.
Masih mau gengsi-gengsian? :)

No comments:

Post a Comment