Tuesday, July 30, 2013

Premium Ternyata Pertamax? So What?

Original post 25 April 2013

Terjawab sudah kenapa Alphard nggak rusak walaupun corong kuning yang nampol disana. Dan saya pastikan juga pembelian Pertamax akan merosot drastis sehabis-habisnya begitu tahu kalau kualitas Premium sudah sama dengan Pertamax dengan harga yang dua kali lipat.
Sebagai pengguna bensin non subsidi, saya sih biasa aja.
Merasa ketipu–itu mungkin milik sebagian orang. Sudah bayar mahal untuk kualitas yang katanya lebih baik, eh ternyata yang murah itu lebih berkualitas. Lalu saya mau tantang orang pekok yang sok ngerti mesin yang dengan pedenya bilang saya bodoh ketika saya bilang bahwa saya ngisi Karisma 2003 dengan Pertamax/Shell Super.
Sini lu, keluar kalau berani :)
Well, saya sudah bilang berkali-kali di blog ini. Masalah hati saja kok. Masih rela disubsidi negara, sementara gaji lebih tinggi dari UMR, masih jomblo alias bujang, dan belum banyak tanggungan? Okelah, even saya juga malas baca SPT pajak saya ketika lewat jalan Cikarang Cibarusah itu isinya lubang semua. Tapi setidaknya saya boleh senyum bahwa pajak saya tidak saya balikin ke tanki bensin saya.
Persis yang teman saya Agung Toshi pernah bilang, “saya tidak layak disubsidi”. Sebuah pernyataan bagus generasi muda yang pasti nggak akan muncul di pikiran banyak orang muda lainnya.
Jadi, mau itu Premium isinya Pertamax Plus, njuk ngopo? Aku ora urus kok. Lagipula saya seringnya juga beli Shell.. hehe.. Yang artinya, bahwa saya memang tidak mengalirkan kembali pajak yang saya bayarkan ke tanki bensin saya sendiri. Itu saja, cukup.
Semoga masih banyak orang pemalu di Indonesia Raya ini. Malu mengalirkan kembali pajaknya, ke tanki bensinnya sendiri. :)

Tanda Tangan Duluan?

(Original post 22 March 2012)

Barusan ada OB nekat, minta saya tanda tangan form kosong. Ehm, maksudnya form approval pekerjaan OB tapi di line yang harus saya tanda tangan itu masih kosong. Ada isinya, tapi pekerjaan kemarin.
Well, ini kebiasaan. Entah lupa atau bagaimana, kadang tanda tangan itu diabaikan poinnya. Harusnya kan jelas, poinnya adalah verifikasi pekerjaan. Isn’t it? Perlahan tanda tangan bergeser sebagai sekadar syarat.
Nggak jarang ada yang namanya tanda tangan form kosong. Isi formnya diisi belakangan. Ini kan bakal berbahaya bagi yang tanda tangan. Bukan begitu?
Jadi, sebelum request tanda tangan ke atasan, pastikan materi yang hendak ditanda tangani itu benar. Dan siapkan jawaban atas setiap pertanyaan. Tanda tangan approval itu harganya mahal loh. Teman saya di perusahaan sebelah kadang butuh berhari-hari buat laporan, berjam-jam menghadap, dan gagal dapat tanda tangan. Hahahaha..
Be simple, on the right context :)

W.O.W

(Original post 26 September 2012)

Wowww..
Seringkali kita dengan mudah bilang “wowww…” untuk sesuatu yang biasa aja. Kadang malah kita bilang “wowww…” sambil koprol.. *apa sih*
Eh tapi ya gitu deh.. Misal nih melihat fenomen Jokowi aja deh. Ketika kita melihat dia mblusukan ke pasar-pasar, ketika kita melihat dia pakai mobil esemka, kita lantas bilang “wowww…”
Juga misal ketika Dahlan Iskan naik KRL atau ikut membersihkan toilet, kita juga bilang “wowww…”
Hey, kenapa kita harus bilang “wowww..” untuk sesuatu yang sebenarnya ordiner?
Yak, kita bilang begitu, karena kita sudah TERBIASA melihat yang tidak bagus. Ya misal, Jokowi dan Ahok bilang nggak mau pakai voojrider *nggak tau typo apa nggak nih*, kita lantas bilang “wowww…” ya karena kita seling melihat orang yang (ngakunya) pejabat, padahal mobilnya ya mobil sederhana, terus dikawal pakai nguing-nguing. Apa nggak bikin sebel tuh? Tapi karena kita terbiasa seperti itu, melihat Jokowi bilang hal sederhana, ya kita bilang “wowww…”
Apalagi ya?
Ya semisal kita terbiasa melihat pejabat dengan perlakuan khusus, taruhlah dulu jalan Sudirman di Bukittinggi itu pernah disterilkan karena ada pejabat ibukota mau lewat, saya masih kecil waktu itu. Nah, karena terbiasa begitu, melihat Dahlan Iskan naik KRL, ya kita bilang “wowww…”, padahal yang dilakoni pak DIS ya hal yang biasa.
Ketika kita terbiasa melihat pemimpin yang songong tak berisi, kita akan bilang “wowww..” begitu melihat pemimpin lain berbicara. Sama lah halnya dengan ketika kita bilang “wowww…” pada JKW dan DIS. Sama persis kok.
Kita akan bilang “wowww…” pada hal yang biasa karena kita terbiasa melihat yang buruk. Karena itulah, sesuatu yang sejatinya biasa itu tampak LUAR BIASA.
Yah, hidup ini kan persoalan perspektif kan?
*jadi mari kita bilang “wowww…” bersama-sama*

Soal 1 Orang Manusia

(Original post 2 July 2011)

Ini sudah jam 12 malam lewat, besok harus ke Gereja, abis itu rencana mau lihat volley. Tapi, perjalanan hari ini mengusik jemari ini untuk mengetik sesuatu. Silahkan.
Cikarang-Jakarta-Cikarang, sekitar 3 jam, dan sepenuhnya saya tempuh dengan berdiri di bus. Well, kebetulan yang berdiri itu saya, jadi pasti ada ceritanya.. hehe..
Dalam posisi berdiri, semua orang kelihatan. Ada yang bobo sambil mangap, ada yang lagi galau (lho, ini yang ngelihat..), ada yang lagi happy, dll. So? Hmmm.. Percayakah teman, bahwa setiap 1 orang manusia itu adalah spesifik? Bayangkan dalam bus berisi puluhan orang, ada puluhan pula bentuk muka, ada puluhan gaya, ada puluhan gairah, ada puluhan keraguan, ada puluhan kegalauan. Tapi, semuanya adalah manusia.
Saya, di kantor lama, mungkin cukup penting, sampai diuber-uber (sebenarnya diuber karena gawean nggak kelar), tapi di dalam bus itu? Saya cuma seorang penumpang. Di sisi lain, brimob yang berdiri di depan saya, mungkin adalah ujung tombak keluarganya, di dalam bus itu? Ya sama-sama cuma penumpang.
Intinya sih, saya cuma mau bilang, setiap manusia itu spesifik dibuat, namun semuanya tetaplah sama-sama manusia. Yang membedakan manusia yang satu dan lainnya dalam kodratnya sebagai sama-sama manusia adalah VALUE. Apa yang membuat kita lebih istimewa dari sekadar orang yang bobo mangap di bus? Tentu saja value. Itulah faktor pembedanya.
Jadi, apakah value yang kita punya sudah memberikan identitas khusus pada diri kita? Kalau saya, jujur saja belum, malah baru sadar tadi ini. Hehehe.. Semangat!!!

Genre Saya Apa Ya?

(Original post 27 September 2012)

Blog ini sudah 300-an posting, dari informasi tentang profil Spongebob sampai puisi yang merupakan penyamaran dari curhat *eaaa ketahuannnn*
Lalu, lalu, dan lalu… saya lantas berpikir kalau blog ini sudah terlalu LUAS!
Kenapa?
Simpel. Saya menulis semuanya disini. Mulai dari melihat orang jadi dirigen, menjadi dirigen, hingga kemudian pintu dorong-tarik sampai cerita pendek. Banyak feedback yang masuk memang dan saya sangat apresiasi soal itu. Blogger macam Om Yahya yang adalah suaminya Tante Yahya pernah ngetwit ke saya untuk mengirim naskah ke penerbit untuk dibukukan. Saya sih mau, mau banget. Tapi… saya mau nulis macam apa?
Salah satu masalah saya adalah saya belum punya jatidiri sama sekali dalam kepenulisan. Tulisan saya itu romance nanggung, galau nanggung, lucu juga terkadang nanggung. Sejujurnya nih, saya paling suka cara Andrea Hirata membawakan cerita. Seperti itu saya merasa ‘gue banget’ tapi dalam level rendaaaahhhh banget.. Hehehe..
Kalau dipikir-pikir ini sih sudah dari jaman dulu.
Waktu SMA, pas rajin-rajinnya nulis surat pembaca yang dapat kaos di BOLA, saya menulis dalam ‘genre’ pembahasan statistik dari sisi yang unik. Ada lah yang misalnya tentang absennya  Jerome Rothen dan pengaruhnya pada final Liga Champion 2004. Ada juga soal tim-tim Il Sette Magnifico yang kemudian kalah kandang semua dalam 1 musim. Ya sejenis itu. Kaos dan topi adalah apresiasi besar kala itu.
Saya ingin menulis politik, tapi gagal melulu. Saya malah berhasil waktu menulis tentang PENANGGULANGAN PENIPISAN LAPISAN OZON, dengan sebuah ide absurd yang sekarang saya heran kok pernah menang (juara 3). Politik sih pernah, jadi pemenang harapan di PDIP. Ehm, pernah juga waktu di UPN Veteran tentang Singkong.
Saya itu nggak bakat nge-fiksi, dan satu-satunya fiksi saya yang diakui adalah cerpen ‘KETIKA HAKIM AKHIRAT NGAMBEK’ yang masuk nominator di lomba Cerpen se-USD. Hey! Itu cerpen kalau saya masukin media, saya bisa dicap kafir. Bener dah. Jadi saya diamkan saja. Lagipula disket yang menyimpannya sudah hilang.
Dan jauhhhhhh berikutnyaaaaa baru saya menulis lagi.
Nah, coba klik kategori cerita pendek di blog ini, kamu pasti menemukan berbagai jenis cerita. Ada yang GALAU maksimal dan memang sedih beneran. Ada yang metafora (lihat Sepotong Senja Untukmu), ada yang memang niat ngelucu, ada yang mencoba menyisipkan pesan moral. Hmmmm..
Nah, dalam pencarian jati diri saya malah bingung. Saya ini penulis sudut pandang, penulis informasi, penulis fiksi, galau, atau apa?
Kalau mengacu pada 2 karya saya yang masuk buku (cek sebelah kanan blog ini), ya komedi galau. Tapi soal perihal komedi ini saya nggak terlalu bisa lancar. Kalau soal galau? Bahkan ada yang bilang galau itu nama tengah saya.
So? Sobat, adakah masukan? Mohon bantuannya ya, dengan klik polling di sebelah kanan atas blog ini :)
Terima kasih

Di Tengah-Tengah

(Original post 16 February 2012)

Buat yang ngerasa monggo.. Tapi dijamin saya merahasiakan identitas kalian :)
Saya itu sering sekali berada di tengah-tengah. Maksudnya? Dalam konteks CURHAT. Hehehe..
Pernah nggak ngalami, si A curhat soal si B, lima belas menit kemudian si B curhat soal si A? Pernah? Syukurlah.. Sama dengan saya kalo gitu..
Entah sudah berapa kali, dan nggak cuma soal cinta lho, soal orang, soal pekerjaan, soal lain-lain.. Dengan objek yang berbeda-beda. Dan saya selalu upayakan untuk menyaring. Asli, nggak mau jadi biang gosip. Kenapa? Ini terkait kredibilitas saya sebagai jurnalis warga.. Huahahaha..
Mungkin itulah kalau saya dibilang tahu sampai dibilang bisa meramal, nggak kok. Saya hanya mengandalkan intuisi jurnalisme ditambah yang itu tadi, curcol sana-sini, dari sana dan dari sini. Dari sana tentang sini, dari sini tentang sana. Jiahhhhh..
No matter, percaya sama saya soal konten curhat kalian. TENANG SAJA! Kalaupun saya buka, pasti itu dengan PERTIMBANGAN yang matang dan dengan CARA yang sesuai. Saya orangnya malas berkonflik, malas dikonfrontasi, saya orang cinta damai dan cinta wanita (lhooo…), jadi saya nggak akan memakai rahasia curhat sebagai bahan pembicaraan. Kenapa? Kalau saya buka, itu sama saja saya cari konfrontasi.
Nah, soal cinta ini bikin rempong. Sana sini curhat, lha saya curhatin siapa? Pacar saja kagak punya.. Wakakakakaka… :)

Kertas Fotokopi

(Original post 3 May 2013)

Jaman dahulu kala, apalagi ketika masih jadi mahasiswa, fotokopian adalah hal yang sangat melekat di dada sendiri. Satu hal yang bikin saya agak berpikir adalah waktu di YA-YO, ketika kertas habis, mas-mas fotokopian itu nggak langsung mengambil kertas baru dan memasukkannya ke slot di dalam mesin, tetapi melakukan tindakan yang buat saya itu merusak kemulusan kertas. Iya, kertasnya digoncang-goncang, digoyang-goyang, baru kemudian dimasukkan.
Dulu saya nggak ngerti.
Bahkan sampai 2 tahun saya akrab dengan fotokopian di kantor lama, juga nggak ngerti.
Baru ketika mulai akrab menangani mesin fotokopian yang tersendat (karena lokasi meja kerja saya paling dekat dengan mesin fotokopi), baru deh saya ngeh.
Menggoncang dan menggoyang kertas yang rapi itu memang merusak kemulusan, tapi itu sangat berguna untuk memastikan bahwa kertas yang akan masuk ke pencetakan benar-benar 1, tidak lengket dengan 1-3 kertas lainnya.
Kalau lengket, ada kemungkinan jam alias macet.
Nah, saya jadi mikir, ini kan sama dengan performa kerja. Kalau kita perform tapi ada yang nggandul dan nempelin, itu pasti nggak baik. Jadi, kalau kerja, ya perform-lah sendiri, tanpa embel-embel orang lain, pasti nggak akan jam alias macet mesinnya. Kita (kertas) akan bisa dicetak dengan baik dan benar.
*sedikit refleksi habis masukin kertas baru ke mesin fokopian*

Mengujian

(Original post 6 May 2013)

Barusan baca blognya adek saya. Sompret, dibilang saya marah-marah. Eh, tapi iya ding. Bukan apa-apa, mengingat dari TK (unyu-unyu) sampai SMP (unyu-unyu labil) dia memang yang punya prestasi mumpuni. Dulu itu tiap catur wulan kan ada juaranya dan pasti dapat piagam, ya dia itu mesti dapatnya, kalau nggak 3, ya 2, atau kadang 1.
Lha saya? Terakhir dapat piagam kelas 5 SD *garuk-garuk aspal pintu tol cibatu*
Ya jadi pada dasarnya saya lupa dulu waktu SD belajar apa nggak. Bahkan dulu saya lupa namanya EBTA atau EBTANAS atau apalah itu namanya. SMP jugak. Nggak tahu ya, mungkin gegara saya ini anak guru yang, ehm, selalu 10 besar, motivasi saya itu rendah sekali kalau belajar. Anggapannya, mesti lulusnya.
*padahal yo ora mesti juga*
Dan memang kehidupan saya berubah drastis sejak ke Jogja. Ketika standar persaingan mendadak menjadi sangat tinggi. Yeah, saya yang lulusan SMP di sebuah kota yang cuma bisa dicapai dengan jalur darat, kecuali terjun payung, harus berhadapan dengan lulusan SMP 5 Jogja? Atau lulusan SMP Stella Duce? Atau lulusan SMP Dom Savio? *lah mana kuattttt*
Cuma, waktu dulu mau ujian, kok ya nggak tega mau ambil kursus apa les-les gitu. Kan banyak Primagama, Ganesha, SSC, atau apalah di Jogja sana. Padahal itu peluang untuk melihat wanita di sela-sela pemandangan yang selalu pria.
Satu pasal doang sih, kayaknya orang tua saya nggak punya duit. Dan di kelas IPA4, cuma saya satu-satunya yang nggak les. Jadilah, kalau ada yang ngejadwal mempersiapkan ujian di sekolah di hari libur, pasti saya ikut. Ingat dulu kalau belajar bareng Fredy, Geo, Jo, kadang-kadang sama Wira atau juga…enggg… lupa.. *menunduk suram*
Kalau ingat, prahara bernama UN itu pertama kalinya ya tahun 2004. Ya saya ini korban generasi UN. Meskipun sekarang prahara malapetaka bin musibah itu lebih kepada menterinya.
Nah, nah, nah.. yang terjadi kemudian nilai saya itu okelah. Bahkan lebih tinggi daripada beberapa orang yang les. Itu jadi dasar saya kemudian, termasuk melarang adek saya les. *abang jahanam*
Kalau sekarang, eh setahun lagi, si Dani. Monggo dek, les-les 0 kono, tak bayari nek perlu nek iso sih ojo. Konsennya sudah beda. Perkara duit sekarang sudah lebih mudah dari dulu. Soalnya, sistemnya sudah kacrut begini, ya anak-anak les yang dituang prediksi-prediksi soal-lah yang menang.
Begitulah, pendidikan memang perlu diuji. Cuma yang menguji berasa kancut meong begini. Gimana mau bikin ujian yang baik dan benar?
Doa saya sekarang sederhana, semoga adek-adek korban pak musibah itu bisa selamat sampai lulusnya. Amin.

Tempat Macam Apa Ini?

(Original post 19 January 2012)

Di tanah ini, sebuah tanah yang awalnya gersang.
Perlahan merambat membentuk massa, ketika bangunan menjadi awal dari sebuah kesuksesan.
Di tanah ini, orang-orang berkumpul sekadar mengerahkan tenaga, ilmu, dan apapun yang dipunyai.
Di tanah ini, kebutuhan-kebutuhan mulai primer, sekunder, sampai tersier dibuat.
Dan di tanah ini pula, segala kompleksitas terjadi.
Apakah ini tempat yang aman dan nyaman untuk hidup?
Untuk mencari semata-mata pendapatan agar HIDUP, iya.
Untuk mendapatkan HIDUP? Entahlah..
Dimulai dari SUSAHNYA beribadah..
Dilanjutkan dengan SUSAHNYA menghibur diri..
Diikuti dengan SUSAHNYA bergerak..
Dan kini, SUSAH SEMPURNA..
Tempat macam apa ini?
Ketika kehendak dipaksakan, ketika massa menjadi sarana untuk mengubah sesuatu?
Tempat macam apa ini?
Huh!

Semakin Dekat

(Original post 19 Maret 2012)

Sudah jelas dan lugas apa cita-cita saya yang ironisnya baru ketemu setelah saya ditawari promosi jabatan selevel supervisor. Sungguh orang gila saya ini. Saya mencoba mencari arah lain, dengan jalur perifer, dan mulai menampakkan hasil.
Dimulai dengan sebuah buku antologi indie, yang sayapun nggak tahu siapa itu yang buat. Lalu dilanjut dengan buku kumpulan kisah teman-teman di Cantus Firmus. Lalu lolos di 5 lomba waktu nulisbuku.com ulang tahun. Percayakah, semuanya nggak ada hadiahnya!
Saya nggak ngejar hepeng-nya, tapi pengakuannya. Perlahan banget saya jalan. Saking perlahannya, jelas dari progress bayi novel saya. Di bulan yang lebih dulu dari buku antologi yang pernah saya ikuti, saya sudah nulis ceritaalfa, tapi malah kejadiannya wagu. Sampai 8 buku antologi indie lain, itu kisah juga ga kelar-kelar. Hehehe..
7 buku awal di nulisbuku.com dan tiada ber-ISBN karena tiada diurus. Nah, pas ke-8, diterbitkan via LeutikaPrio dan dapat ISBN. Haiyaaaa.. Lumayan, pada buku ke-8 baru dapat coba! Pelan banget ya?
Dan saya mencoba di penerbit mayor, pas ada lomba KOMEDI CINTA GALAU. Emang saya bisa apa?
Nyatanya masuk, artinya banyak. Saya diapresiasi, saya dapat duit hadiah, plus saya setidaknya bisa membuat dewan juri tertawa. Artinya? I can write comedy! Padahal paling ngeri nulis komedi tanpa tendensi menulis ‘hehehehe…’
Cuma sedikit bermasalah. Konteks cerita itu murni fiksi, namun sumber-sumber kelakuannya asli. Dan yang paling ngenes adalah nama tokoh yang dipakai adalah nama gebetan. Ketahuan ntar? Haduh.. Plus, nama gebetannya gebetan yang kebetulan bukan nama saya. APA KATA DUNIA KALAU MEREKA BACA CERPEN ITU? Haiyaaaahhhh..
Dulu mikirnya, ah, belum karuan menang ini.
Sekarang giliran uda masuk naskah terpilih. Galau gara-gara nama tokoh. Mateng gueeee.. :)
Gpp deh. Biarin. Semoga lolos yang ini bisa memacu kelolosan yang lain lagi. SEMOGA, SEMOGA, SEMOGA! Amin!

Love and Gadget

(Original post 12 June 2012)

Kalaulah teknologi tidak secanggih sekarang, mungkin para pelaku Long Distance Relationship (LDR) alias Pacaran Jarak Jauh (PJJ) adalah manusia paling menderita di dunia.
Terbayang cerita orang-orang lama ketika surat menjadi satu-satunya sarana yang murah untuk bertukar cinta via kata-kata. Kalaulah telepon, itu pun tidak semua punya telepon. Wartel menjadi komoditi yang kaya dan ketika rindu masih tidak tertahan tapi biaya telepon sudah gede, itu menjadi beda soal.
Ah, teknologi yang termanifestasi pada gadget.
See?
Sejak handphone ada, dan perlahan menjadi kebutuhan ‘primer’ manusia, dimana sekarang seseorang bisa punya 2-5 buah handphone, benda ini menjelma menjadi sarana.
Entah sarana apa, tapi untuk para pelaku LDR alias PJJ, benda ini penting untuk menjalin hubungan.
Teknologi SMS dan telepon sudah cukup memfasilitasi, pada awalnya. Lantas kini muncul BBM atau Whatsapp, serta fasilitas messaging lain yang memungkinkan untuk bertukar kata, selalu dekat.
Ah, lihat saja, bahkan di tempat umum pun orang bebas mengeluarkan handphone meski dengan resiko keamanan tinggi. Kenapa? Nyatanya kebutuhan itu mengalahkan kekhawatiran.
Yah, pada akhirnya itu memang sarana. Cinta akan terbentuk dari jalinan komunikasi secara intensif dibalut dengan rasa. Gadget hanya memfasilitasinya.
:)

Hidup Untuk Posisi?

(Original post 14 December 2012)

Ada suatu masa ketika kebimbangan itu melanda. Terutama di kalangan pekerja swasta kayak saya ini. Ya, pindah kerja.
Dan entah sudah berapa banyak orang yang mengecap saya ‘BODOH’ ketika dengan mantapnya saya menolak promosi (ketika saya belum 2 tahun bekerja), dan malah memilih pindah untuk posisi yang sama. Dan masih ada juga yang mengecap saya kata yang sama ketika untuk kedua kalinya saya juga menolak hal yang sama.
Penyesalan? Itu jamak terjadi ketika seseorang pindah ke perusahaan kedua, setelah bilangan tahun bekerja. Ya, sebagai anak unyu-unyu tentu perusahaan pertama itu jadi patokan. Masalahnya, tempat kerja pertama saya itu so systemize dan okelah untuk jadi patokan. Saya harus bilang begitu karena ya memang begitu adanya.
Hanya, saya lelah dengan adrenalin yang meningkat ketika saya harus mengurus 3500 item yang nyata-nyata tidak menentu nasibnya. Ada yang tahu-tahu tumpah di supplier, ada yang salah cetak, dan lainnya.
Dan entah kenapa pula teman-teman saya di tempat lama memberi kabar angin soal sebuah posisi di tempat lama saya yang ‘katanya’ akan diisi oleh salah seorang teman saya (yang sama-sama masuknya).
Seseorang bertanya, “kamu menyesal?”
Dan jawaban yang sangat mudah. A BIG NO.
Okelah terkadang memang ada penyesalan kecil ketika misalnya dikirimi foto kalau teman disana lagi kumpul-kumpul. Atau lagi ada cerita sedang main bola. Tapi kalau giliran lagi naik bis bolak-balik ke Jogja, malah ada rasa syukur soal kemudahan. Apalagi ketika kemarin saya ikut lomba (padus) di Jakarta.
Ya, setiap pilihan memiliki konsekuensi yang mengikat. Penyesalan itu boleh, tapi nyatanya tidak akan mengurangi konsekuensi tersebut. Pilihan itu ibarat sebuah laci panjang. Ketika kita hanya punya 1 kunci dan memilih sebuah laci untuk ditarik, apapun isi laci itu ya harus jadi tanggungan kita. Sesuatu yang tidak banyak kita tahu sebelumnya, hanya bisa kita perkirakan.
Jadi, kalaulah kabar itu benar, tentu saya bersyukur karena teman saya sukses. Membandingkan dengan apa yang saya capai kini sejatinya berbeda. Karena toh, saya punya pencapaian sendiri, dan beberapa memang sejalan dengan yang saya pikirkan ketika menolak tawaran promosi itu.
Hidup itu bukan untuk posisi kok, tapi untuk berkarya, memberikan makna pada dunia. Posisi memang bisa membantu untuk berbuat. Ya, tinggal bagaimana kita menempatkan diri saja.
Sukses lah buat semuanya.. :D

Kamera DSLR

(Original post  5 February 2013)

Kemarin ke Giant sama anak kos. Sesudah berkeliling ke perlengkapan mandi, mie (anak kos banget), snack-snack, kopi instan, akhirnya sampai ke counter elektronik. Semata buat menghibur mata yang duka.
Saya lalu melihat sebuah kamera DSLR.
Sebuah benda yang saya idam-idamkan, sejak cukup lama.
Harganya sebenarnya tidak cukup mahal. Masih di bawah 5 juta. Which is kalau sebenarnya niat, toh saya pasti bisa mendapatkan nominal itu hanya dengan menyisihkan sebagian gaji dari jumlah bulan yang nggak banyak.
Tapi yang kemudian jadi pikiran:
Apa iya saya beneran butuh itu kamera?
Apa iya kamera itu nantinya akan terpakai?
Apa iya saya bisa melakukan maintenance pada kamera itu?
Nanti bayar ini-itu pakai apa?
Ehm, ya begitulah. Saya masih punya cukup banyak tanggungan. Setidaknya 10% sudah untuk bayar tagihan wajib di rumah, lalu sekitar 30% untuk bayar cicilan dan pengeluaran rutin. Sisanya untuk penghidupan sehari-hari. Dan saya punya pos khusus untuk hura-hura kalau lagi ketemu keluarga. Hahaha..
Ah, suatu saat pasti dapat. Sebisa mungkin pas Cici sumpahan, saya sudah bawa kamera sendiri.
AMIN! AMIN! AMIN!

LinkedIn Dan Dua Kesempatan (yang Dilewatkan)

(Original post 7 February 2013)

Asli saya lupa kapan saya bikin jejaring sosial khusus karier LinkedIn. Pokoknya sih belum cukup lama. Mungkin setelah 1 tahun saya bekerja. Mungkin lho, kan lupa.
Nah, di jejaring ini memang saya tidak memasang nomor handphone. Sebuah pertimbangan tersendiri untuk itu. Di sini saya menulis segala sesutu terkait hal-hal yang saya kerjakan. Sesederhana itu.
Dan, entah karena tulisan Inggris ngawur saya itu menjadi menarik atau bagaimana, saya kemudian dua kali mendapatkan email dari HR pabrik farmasi PMA untuk bergabung.
Ya, bukankah itu kesempatan namanya?
Kalau yang pertama, mungkin saya masih bisa ragu karena memang lagi gonjang ganjing dia. Pindah kepemilikan sana-sini. Lha yang kedua ini sungguh bikin mikir. Sebuah perusahaan PMA yang besar.
Ya, silahkan judge saya bodoh atau apapun, yang jelas untuk saat ini, keduanya lewat. Iya, memang sengaja saya lewatkan. Saya tidak ingin mimpi saya kembali tertunda lagi. Semoga ada lain kesempatan.
:)

Kok Bisa Jokowi dan Ahok Dipertemukan?

(Original post 19 February 2013)

Ada yang unik di Jakarta sejak akhir tahun lalu. Iya, pesona gubernur dan wakil gubernurnya begitu luar biasa. Jokowi dan Ahok tahu-tahu jadi perhatian se-Indonesia. Dan, ehm, persetan dengan pasnabung yang masih saja komentar jelek soal pasangan ini.
Kenapa?
Buat saya, keduanya sudah memberikan willingness untuk perbaikan. Keduanya bahkan mengakui kekurangan. Ketika ada banjir, mereka mengakui itu banjir. Kalau orang sebelah mengakui itu sebagai genangan. :)
Dan poin saya adalah ketika blogwalking saya sering menemukan tulisan pribadi wartawan yang bertugas meliput keduanya. Iya, tulisan pribadi di blog tentu beda dengan berita. Dan tulisan pribadi itu lebih jauh dari nilai-nilai pesanan. Tulisan pribadi ya pribadi. Dituliskan dengan bebas tanpa tendensi boss.
Dan dari tulisan jujur itu, saya mendapatkan insight bahwa yang dilakukan Jokowi dan Ahok itu benar, dan bukan sekadar pencitraan. Dan uniknya lagi, kenapa sih dua sosok ini bisa bertemu? Dua sosok dari ‘kampung’, Solo dan Belitung Timur.
Mungkin ini awal dari perubahan ya?
LANJUTGAN!
*sekali-kali nulis politik*

Suka Sotoy

(Original post 1 May 2013)
Kenapa blog ini namanya ‘Sebuah Perspektif Sederhana’ adalah karena jualannya adalah perspektif. Kalaulah ada konten informasi, tentunya itu dilengkapi dengan sumber.
Nah, saya lagi googling blog tentang OGB. Dan saya menemukan beberapa kalimat sotoy. Iya, sotoy abis. Saya kerja 2 tahun jadi PPIC di pabrik OGB dan tahu benar bahwa ada bagian yang nggak benar. Dikate bikin obat itu gampang apah? Enak wae.
Maksud saya, kalau memang copas, ya mbok tulis dicopas dari mana. Kalau memang sotoy, ya mending nulis kayak saya gini, dari awal bilang kalau saya memang nulis sotoy.
Begitu saja.
*emosi jiwa melanda*
*elus dada*
*dada sendiri*

Sunday, July 28, 2013

Masih Soal Benda Mati

(Original post 17 Mei 2013)

Oke, perkara lappy sudah kelar. Meski dia masih bisa nyala, saya tetap berpikir bahwa itu adalah saat terakhir kali dia nyala. Syukurlah sampai sekarang dia masih bisa nyala, berhubung saya belum sempat memindahkan semua data, which is ternyata banyak data yang nggak penting, juga foto-foto nggak penting semisal foto mantan.
Intinya sih sekarang era-nya si hitam yang saya kasih nama Tristan. :)
Oke, perkara sebulan lalu itu sudah usai, sebelum kemudian kelakuan buruk saya memperlakukan gadget kembali menuai petaka. *ceileeee…*
Handphone saya yang murah meriah muntah tadi pagi mati total. Persis begitu buka Tristan, si modem ikutan putas-putus wae, udah kayak ababil masa kini. Harus penuh doa agar bisa connect. Fiuhhh…
Memang sih, si Young yang usianya sudah 1,5 tahun itu nggak saya perlakukan bener. Sehari isinya mungkin berjam-jam connect ke charger terus dia. Sudah tahu salah ya tak terusin. Persis sama dengan si Lappy dulu. Udah tahu salah, kok ya diterusin.
Well, kita tahu, bahwa dalam penanganan yang nggak benar, semuanya bisa berantakan. Kali ini saya berurusan dengan kealpaan saya mengurusi gadget. Meskipun saya juga alpa mengurusi badan saya sehingga asam urat tinggi. *bye bye melinjo*
Setiap peristiwa adalah bahan belajar. Kini, Tristan cukup diperlakukan baik, meskipun 1-2 kali kebablasan nge-charge sih. Cuma ya itu dia, kalaulah yang rusak laptop, itu masih ada excuse untuk tidak beli lagi. Lah kalau yang rusak HP?
Sebagai manusia masa kini, ternyata HP ini jadi isu juga yak. Ya sudah, marilah kita kembali ke zaman LG GW300 saja dulu. Sampai beberapa hari ke depan.
Hahahahahaha.
*eluselusdompet*

Ngedit Buku

Ini kali ketiga saya ngedit naskah (calon) buku. Dan rasanya masih antik. Iya, saya yang sarjana farmasi apoteker ini malah ngedit naskah. Yah, naskah sendiri sih, sebelum dikirim ke penerbit.
*masih berupaya kembali ke jalur impian*
Soal ngedit-ngedit rasanya sih bukan hal baru bagi saya. Kursus-kursus ada sedikit dulu pas kuliah. Jelek-jelek begini, saya lulusan kursus jurnalistik angkatan sekian (sertifikatnya ada di kos), yang diselenggarakan sama kampus. Lalu saya juga ngedit beritanya Cas Cis Cus pas kelas 2 SMA. Juga ngedit Pharmaholic, waktu saya pegang majalah itu.
Untuk naskah buku, yang pertama saya edit adalah proyekan inisasi saya sendiri, buku “Aku dan Cantus Firmus”. Mengumpulkan sekian tulisan itu ternyata ribet. Belum lagi atur-atur margin, menyamakan font dan lainnya. Kebetulan sih, saya nggak mengedit konten, karena merasa nggak berhak saja sih. Apa ini buku dijual saja ya waktu konser reuni? Hahahahaha.
Lalu kedua, pas ngedit Oom Alfa. Itu adalah pengalaman ngedit paling asyik. Sampai kemudian saya sampai pada keputusan print–kemudian beli printer. Kurang niat apa saya jadi penulis coba? Untuk urusan macam itu saja, saya sampai beli printer. Sekarang? Ngonggok aja itu di kosan.
Ngedit itu seru sebenarnya, tapi butuh ketelitian tingkat tinggi. Kalau di Oom Alfa kan itu cerita pribadi saya sendiri, jadi nggak ada isu soal ketidaksambungan.
Nah, ini yang saya alami di Lovefacture. Naskah yang hendak saya kirim ke penerbit yang sama dengan tempat saya ngirim Oom Alfa.
Lovefacture, sila klik link-nya di kanan atas blog ini, kan cerita fiksi. Ada alur yang harus saya perhatikan dalam mengedit naskah ini. Kalau di awal saya bilang si Destia itu karakternya begini, maka sampai akhir ya harus begini. Konsistensi itu yang sulit minta ampun. Mana kemudian kan saya pakai aneka sudut pandang yang justru bikin repot sendiri waktu mengeditnya.
Deadline harus ditetapkan, dan harus kelar.
Satu hal adalah tetap meyakini bahwa saya bisa. BISA! *ini slogannya siapa sih?*

Membuat Jadwal

Banyak orang suka memandang remeh sesuatu, termasuk hal yang sebenarnya tampak simpel bernama membuat jadwal.
Gegara pengen aktif di gereja, saya jadi ikutan gelo dengan jadwal, padahal jadwal adalah kegiatan sehari-hari. Gelo karena saya kemudian dapat email JPL dan JTL bersamaan. Di JTL memang ada nama saya, di JPL, mau nggak mau ya dipikirin, soalnya saya yang dikirimin.
Dan barusan ini, entah kenapa saya mendadak eneg melihat jadwal.
Ehm, jadi begini, jadwal itu punya komponen banyak. Bukan sekadar list waktu dan list acara yang dicocok-cocokkan. Persislah kalau JPL di hari Jumat, tidak diletakkan orang-orang jauh. Atau JTL tidak tabrakan sama JPL, soalnya orang-orangnya itu-itu juga.
Barusan ini jadwal audit, bagian dari tanggung jawab saya di kantor.
Kenapa eneg? Ya karena mencocokkan berbagai kepentingan atas nama jadwal itu ternyata ga mudah. Apalagi, sesuai konsen PPIC, berharap membuat jadwal yang efektif. Ada banyak metode dalam membuat jadwal, tapi pada akhirnya semua akan kembali pada keahlian si pembuat jadwal.
Begitulah kira-kira.
Iki gur ditulis mergo aku mumet wae. Suwer.

Membayangkan Cikarang 16-20 Januari 2012 Mendatang

(Original post 15 Januari 2012)

Lanjutan dari demo yang sudah dihelat minggu lalu di sekitar kawasan MM, maka direncanakan 16-20 Januari mendatang, sesuai surat terlampir, akan terjadi demo besar-besaran dari Buruh Bekasi Bergerak terkait gugatan APINDO ke PTUN Bandung menyoal kenaikan upah.
Kalau demo kemarin, akses jalan kota di sekitar Cibitung macet total. Sehingga jelas pekerja dari Bekasi ke arah Cikarang terhambat. Sementara yang di wilayah EJIP, Delta, dan Jababeka masih biasa. Malah, ada karyawan di pabrik di Jababeka yang dari Cibarusah heran. Kok perempatan EJIP sepi banget?
Nah, besok ini karyawan tadi tidak bisa demikian lagi karena lokasi perempatan EJIP itu menjadi titik kumpul bersama dengan Patung Kuda Jababeka II. Sudah terbayang bahwa bila dua titik ini penuh oleh massa sebagai titik kumpul, maka pergerakan di Cikarang akan sulit berjalan mengingat dua titik ini adalah titik kunci. Perempatan EJIP akan menjadi jalan yang dilewati masyarakat dari Cibarusah, Serang, dan sekitarnya ke arah Cikarang utamanya Jababeka. Demikian pula dari arah Lemahabang dan sekitarnya ke arah Delta, EJIP, dll akan melewati Patung Kuda.
Untuk pihak-pihak yang bersinggungan dengan lokasi-lokasi itu tentunya perlu mencari jalan pintas atau jalan yang tidak biasa dilewati, mengingat aksi yang akan dilakukan cukup masif.
Yah, semoga ada penyelesaian yang baik deh untuk masalah ini. Saya dengan info dari twit rekan di kawasan industri lain, kayaknya akan ada demo serupa di kawasannya (jauh kok dari Cikarang). Ya, entahlah.. Saya tidak mau membayangkan, dijalani saja :)

18 24

(Original Post 17 April 2013)

Ada teman yang baru pulang dari tempat lama saya. Terus bilang kalau saya dapat salam. Tak pikir dari mantan saya, ternyata nggak.
*kemudian garuk-garuk aspal*
Katanya saya dapat salam dari driver nomor 1 di tempat itu. Driver satu ini, yang pertama kali saya temui waktu pertama kali menginjakkan kaki di Bumi Wong Kito. Driver yang oke, kalau menurut saya.
Dan tetap yang paling unik ada statement, “sayang dia pindah, kalau nggak pindah, udah lain ceritanya.”
Saya ketawa aja, itu lagi, itu lagi.
Itu loh, kalau saya nggak pindah, maka sekarang saya udah bawa mobil :)
Itu kan kata situ. Belum tentu juga jalurnya akan begitu kan? Belum tentu juga saya akan cukup perform, iya kan?
Tapi satu hal sih, kalau saya bertahan, maka saya nggak akan disia-siakan.
18 hari lagi, saya genap 4 tahun jadi karyawan, di bawah entity yang sama sejak awal saja jadi pekerja.
24 hari lagi, saya genap 2 tahun di tempat yang sekarang.
Hmmmmm….

Obrolan 2.5 Jam

(Original post 27 Mei 2013)

Kemarin, makan malam dan ngobrol ngalor ngidul sama teman, untuk sebuah durasi yang cukup lama, ya seperti yang ditulis di judul posting ini.
Obrolan sederhana yang kemudian membuat saya perlu menarik beberapa hal.
Pertama. Salahkah saya kuliah apoteker?
Ini mirip obrolan malam sebelumnya. Ketika berhadapan dengan banyak teman dari aneka company farmasi. Poinnya adalah, apakah yang kita peroleh itu cukup? Kenapa kemudian income kita masih kalah dengan orang yang buat sepeda motor, misalnya.
Kedua. Salahkah saya nggak resign-resign?
Hehehe. Pertanyaan mengusik sih kalau ini. Ketika tawaran ada, dan saya keukeuh nggak mengambil, sampai akhirnya tawaran sepi kembali. Huiks. Apalagi habis ngobrol–malam sebelumnya–sama beberapa teman lain yang sebagian sudah resign, sebagian lain nggak resign-resign.
Ketiga. Bagaimana soal jodoh?
Entahlah, mungkin ini terkait dengan madesu (masa depan suram ketika berada di suatu tempat. Sama juga dengan obrolan sebelumnya ketika saya tahu ada teman yang hendak resign, guna pindah ke Jakarta dan mendekat dengan calon istrinya.
Ada hal-hal yang perlu direnungkan. Ada hal-hal yang perlu diputuskan. Tapi sejauh ini, saya masih percaya bahwa jalan yang saya titi sekarang, masih yang terbaik.
Entah besok. :)

Promotor Generik

(Original post 21 May 2013)

Ketika saya membaca blog sebelah–yang adalah blog saya sendiri–tapi khusus yang untuk obat-obatan, saya mendadak geli sendiri.
*siapa yang kitik-kitik*
*salah fokus*
Eh ya, tapi geli karena saya ikutan lomba blog yang diselenggarakan oleh kantor sendiri. Ehm, ya nggak langsung kantor sendiri sih, karena sekarang saya ada di sebuah unit semi-independen, tapi memang masih 1 entity. Kebetulan topiknya obat generik.
Yah, bahwasanya saya belum pernah menang lomba blog satupun, itu adalah kasus. Hampir menang sih pernah, pas yang batik. Dan lagi yang generik ini, iseng saya cari kemana-mana, wow, pada sangat komprehensif menulisnya.
Lha saya?
Tetap keukeuh dengan menulis ala saya. Iya, yang seperti ini. Tetap pakai kata-kata ngawur, dan disisipi smiley. YEAH!
Lalu saya jadi ingat nih, tulisan saya di sebuah majalah komersial, yang mana daripada saya nggak pernah dapat duitnya.. Hahahahahahasem.. Disitu saya nulis soal promosi obat generik, di fasilitas kesehatan Katolik.
Gini-gini ya saya promotor generik juga yak? Hehehe.
Well, satu hal nih, saya pernah 2 tahun ada di pabrik yang banyak produksi OGB, saya tahu pusingnya, saya bahkan sempat opname juga karena sebagian bahan OGB yang bikin puyeng. Karena saya tahu, maka saya paham bahwa nggak ada salahnya kita mempromosikan generik. Okelah, mungkin memang yang dibawa panji-panji sendiri, lah malah tambah nggak salah kan?
*itung-itung loyal pada company*
Begitulah. Semoga saya menang. Hadiahnya HP baru. Lumayan. Cuma ya itu, kalau lihat lawan sih, apalagi dari kelengkapan data, nggak ada bakat menang sama sekali. -____-”

Lagi-Lagi Tentang Status

(Original post 5 Juni 2013)

Bukan.. Bukan..
Ini bukan tentang status jomblo saya. Tapi tentang status FB saya kemarin malam.
Berawal dari beresnya transaksi pulsa si Cici Dani dan uang kos di Dani, maka saya tulislah di grup Whatsapp–yang isinya cuma saya dan dua adek sih–begini:
Pulsa, duit, udah semua ya.
Entah kenapa, komen si Cici di status FB saya kemarin, mendadak terlintas. Lalu saya tambahinlah:
Kakak ipar yang belum.
Maka saya tulislah di FB malam-malam jam 22.03:
Sebagai abang yang baik, selayaknya memberikan apa yang diminta adeknya.. Buku, duit, pulsa mah gampang.. Yang susah itu cuma kalo adek minta kakak ipar..
Ya walaupun gaji saya nggak gede-gede amat, kalau mereka minta barang 100-200, biasanya sih tak kasih. Pulsa juga sekarang malah berubah entah kenapa. Biasanya saya ngisiin pulsa ortu di rumah, sekarang malah ngisiin pulsa dua adek ini. *malah luwih larang*
Well, tetap ada yang komen bahwa status saya itu semacam pameran bahwa saya jomblo, dan kemudian bla..bla..bla..
Hehehe.
Ini kan media sosial. Saya mau menulis apa kan nggak masalah? Lagipula esensi saya menulis itu lebih kepada kepingan-kepingan kalimat yang menurut saya jadi lucu. Dan seperti biasa, kalau menurut saya lucu, pasti saya posting di FB sebagai status dan kalau jempolnya banyak, bisa saya kembangkan menjadi sebuah tulisan yang lucu.
Gitu doang.
Kayak beberapa status gagal saya nih:
Lari adalah olahraga yang tidak disarankan, terutama lari dari tanggung jawab dan lari dari kenyataan
Orang QC rata-rata nggak suka makan agar-agar, terutama yang diletakkan di cawan petri
Dua itu menurut saya lucu, tapi ternyata menurut pemirsa FB nggak lucu. Ya saya nggak bisa maksa kan?
Gitu doang sih.
Saya nggak segalau gelo sampai meracau di FB. Iya pernah, tapi itu sudah lewat. Sudah bukan masanya lagi. Sekarang status FB saya ya untuk test case aja kok. Untuk setiap kalimat yang saya temukan. Baik ketemu waktu sedang ngerjain MPS, ketemu waktu terima material, atau ketemu waktu baca standar internasional.
Don’t take it seriously :)

Mengeluh Sekali Saja

(Original post 18 Juli 2013)
Di saat hidup lagi penuh keluhan gini, saya jadi mikir. Namanya melankolis pasti akan berpikir dalam-dalam, dan kebetulan saya melakukannya.
Tiga tahun yang lalu, saya mengeluh keras-keras karena saya datang pagi pulang malam, karena semua pekerjaan bersangkut paut dengan saya. Sampai di hari liburpun saya harus masuk kerja karena memang yang bisa entri forecast itu hanya saya.
Disitu saya mengeluh, pada posisi saya dibutuhkan.
Dan yang sebaliknya juga terjadi kok, bertahun kemudian. Hehehe.
Saya jadi mikir gini. Kalau kita ada dalam kondisi yang terburuk, maka kita akan mengeluh keras-keras. Buruk itu kontekstual. Dan masalahnya, buruk itu tidak selalu sama.
Ambil contoh soal jalan rusak. Kalau si bule Andreas mengeluh soal Jalur Selatan Jawa yang penuh bolong-bolong, maka saya biasa saja. Tentu karena dia melihat jalan di Austria yang mulus, dan saya pernah lewat Aek Latong yang penuh dilema.
Atau soal naik bis. Beberapa teman mengeluh ketika naik bis ekonomi. Saya juga biasa saja, walau keluhan itu datang dari tubuh yang pegal-pegal. Saya biasa saja karena saya pernah Merak-Pemalang, hanya duduk di undak-undakan bis di bagian belakang itu lho. Kalau yang di bis blok M, yang buat duduk pengamen itu tempatnya. Dan saya duduk dari sore sampai pagi. Bahkan saya sampai nggak bisa lihat itu gedung-gedung tinggi Jakarta karena itu.
Atau juga orang mengeluh soal sumpeknya kereta api. Mungkin mereka belum pernah Cirebon-Jogja dengan duduk di perlintasan antar gerbong.
DAN SEBALIKNYA...
Saya juga tidak pernah merasakan hal buruk tertentu, yang pernah dirasakan orang lain. Sama persis. Dan di konteks itu, mungkin saya yang akan mengeluh.
Jadi, kalau saya pikir-pikir, mengeluh itu sebenarnya cukup sekali saja, ketika kita belum tahu. Saat sudah menjadi pengalaman. Hmmm, apa lagi yang perlu dikeluhkan?
Hehehe. Refleksi aja sih. Bagaimanapun, saya orang yang memang suka mengeluh. Dan semoga saya berhenti untuk mengeluh, kecuali di kesempatan pertama.
:)