Sunday, December 29, 2013

Biar Ku Simpan-Capucino

Teringat dirimu lagi saat ku membuka mata ini
tak mampu terpisah bayanganmu di sanubariku
tak pernah aku sesali saat aku mulai jatuh cinta
tak akan ku ingkari, sumpah mati kan selalu ada di sampingmu
reff:
dan biarlah ku simpan perasaan ini
menutup hatiku pada cinta yang lain
bila akhirnya ku temukan cinta sepertimu
mungkin ku bisa lanjutkan hidupku
-0-
Sajak ngenes ngene? Astojim.. :’(

Future

Waktu, jangan berharap untuk memutar waktu, karena ia memang tidak untuk diputar.
Ia akan berjalan sesuai jalannya sendiri, ke depan, menuju…. masa depan..
Fiuhhh..
Apa yang harus kusebut tentang masa depan? Apa teman?
Apakah masa depan yang kamu maksud itu, hidup berkelimpahan, damai, mati masuk surga? Itukah?
Ataukah masa depanmu adalah mimpi-mimpimu? Mimpi-mimpi yang menghidupimu?
Atau apa?
Pertanyaan ini berkecamuk di dalam kepalaku, ketika kedua mataku dan kedua telingaku mendapat rangsang sesuatu
Apa yang aku lihat, dan apa yang aku dengar..
Lantas apa? Apa mimpi-mimpiku? Apa yang menghidupiku, sehingga aku bisa mengikuti sang waktu dengan riang gembira
Gejolak dan kecamuk yang mungkin nggak penting, nggak urgent, dan nggak-nggak lainnya
Sang waktu telah membawaku pada titik ini, ketika aku menulis ini
Ada hal-hal yang mungkin memang tidak bisa digapai, ada yang mungkin tapi tak seketika, tapi banyak hal yang mungkin
Mimpi, menghidupi kita, menemani perjalanan kita dengan gambaran indahnya
Menyahut gejolak dengan paparan nikmatnya, dengan gelora kepuasan, yang KELAK akan kita dapati
Jadi,
Apa mimpimu kawan? Apakah jalanmu kini sudah menuju kesana? Apakah mimpi itu menghidupimu, atau justru membunuhmu perlahan?
:)

Yang Lambat Pasti Akan Menangis

Bila kata-kata tak lagi menjadi bermakna, apalagi yang kulakukan
Bila syair dan nada tak jua lumpuhkan hatimu, apalagi yang kulakukan
Seluruh jiwa raga kuserahkan hanya kepadamu semangat hidupku
Apa saja pasti kan kulakukan hanyalah untukmu harapan hidupku
Bila semua daya tlah kukerahkan tuk hatimu, apalagi yang kulakukan
(Jikustik-Apalagi Yang Kulakukan)
* * *
Apalagi yang kulakukan?
Memangnya aku sudah berbuat apa, sehingga aku harus berkata “Apalagi?”
Yah, anggap saja aku tidak melakukan apa-apa!
Hmmm…
Sebenarnya, tidak sesederhana itu sih..
Sesungguhnya semuanya menjadi sangat kompleks, sehingga tampaknya aku tak layak bertanya “Apalagi?”
Garis-garis lengkung permainan rasa dan imajinasilah yang melenyapkan kepantasanku..
Dan soal yang utama adalah, bahwa aku berbuat, aku pantas bertanya “Apalagi?”, tapi soalnya adalah: aku terlambat..
Kepantasanku bertanya, pun semua yang telah aku lakukan memudar oleh keterlambatanku..
Keterlambatan untuk mengatakan isi syair dan nada
Pantas saja hatimu tak lumpuh, karena kamu tidak pernah mendengar syair dan nada yang kugubah untukmu..
Huffft..
Dan keterlambatan terbaik adalah keterlambatan yang berulang
Terbaik, kenapa?
Ia berulang semata karena garis kita kebetulan bersinggungan, dan ketika itu terjadi berulang, artinya kosmos berkehendak
Itu baik, dan keterlambatan berhasil memumpuskan kehendak kosmos
Pudar sekejap dan hilang
Hmmm..
Menangis tak selalu soal air mata bukan?
Menangis mungkin bisa serupa jeritan hati, menyesal karena terlambat..
Aku hanya bisa belajar, yang terlambat hanya bisa menangis!
Dan aku hanya berharap, garis itu akan bersinggungan lagi
Kelak, entah kapan..
*Cikarang, 24 Juli 2011 dinihari

Keunikan Adat (tentunya masih versi saya)

Original Post 9 Juli 2011

Akhir-akhir ini tiba-tiba otak saya sangat produktif. Tapi sebenarnya ini gejala umum sih hehehe.. Setiap kali saya berada dalam suasana menganggur, menunggu, atau dalam perjalanan, ide-ide lari-lari di kepala. Cuma belakangan ide itu muncul dengan urutannya, bukan sekadar ide-ide liar yang sulit ditangkap dan kemudian hilang ditelan sentrum memori yang lain.
Hari ini saya servis si BG, sebuah benda yang dengan jelas dan gamblang menahbiskan saya sebagai PRIA BERKHARISMA. Silahkan dimaknai sendiri maksudnya.
Tiba-tiba saja sisi-sisi keunikan adat yang pernah saya tangkap, muncul. Hmmm… Baiklah untuk coba dikompilasi.
Sekilas info, bapak saya orang Jawa (galur murni), mamak saya orang Batak (galur murni) juga, lantas saya galur wistar? Oh no, itu mah tikus. Saya campuran Jawa-Batak, dan sebagai tambahan saya lahir dan besar di Bumi Minangkabau. Hehe.. Plus, ada tambahan pernah dua tahun ada di Bumi Sriwijaya. Setidaknya, ada 4 adat yang bisa saya padu padankan disini.
Iseng-iseng pertama, bahwa bahasa Batak itu lebih unik. Mengapa? Karena saya sulit menguasainya? Ya jelas bukan. Tapi pattern bahasa dan adat dari Batak sendiri memang sudah berbeda. Coba jalan ke lapo-lapo tuak, biasanya ada silsilah keluarga besar Batak disana, luas sekali, berawal dari Yang Mulia Si Raja Batak. Inilah yang menyebabkan, setiap kali orang batak bertemu, yang ditanyakan adalah marganya. Kenapa? Ada kemungkinan sama, dan jika sama itu berarti bersaudara. Sesama Sinaga misalnya, tidak boleh kawin. Itu yang saya heran lihat di tivi-tivi atau di berita singkat ketika suami dan istri sama-sama bermarga Nasution. Emang boleh? Aya-aya wae. Dan jangan lupa, tidak sekadar sesama marga. 2-3 marga punya persaudaraan sendiri, saya sebagai Simamora misalnya, nggak boleh lirik-lirik ke marga Manurung (itu pesan Bapak Manurung yang saya temui di Nias, asli, bukan rekayasa). Karena kedua marga ini masih dalam satu kesatuan.
Hal kemargaan dan kesukuan juga ada di Minangatamwan. Tapi dengan jumlah yang lebih sedikit karena asal mulanya adalah dari suatu daerah, kalau Batak tadi, dikisahkan dari orang. Daerah tidak bertambah besar, tapi orang bisa beranak-pinak. Minang cuma ada satu lapis, tapi kalau Batak, berlapis-lapis, Simamora saja ada beberapa macam. Heleh-heleh. That’s Unique!
Iseng-iseng kedua menghasilkan fakta, bahasa punya pertalian kemiripan. Tapi ada yang bisa melenceng. Sebutlah TIDUR, dalam bahasa Jawa bisa kita kenal dengan SARE atau kasarnya TURU. Dalam bahasa Batak dikenal dengan MODOM. Secara Minang ada yang spesifik LALOK. Kalau Palembang punya ada TEDOK. Kita lihat Jawa dan Batak punya jalan sendiri, sementara LALOK sangat mendekati LELAP, dan TEDOK juga sangat mendekati TIDUR.
Lalu untuk menanyakan KEMANA. Di Batak ada TU DIA, Minang ada KA MA, di Jawa NANG NDI, di Palembang KEMANO (dengan lafal E yang nyaris tidak diucapkan).  Bahasa Batak agak mirip Inggris malahan. Sementara yang lain punya jalannya sendiri-sendiri.
Atau misal lagi, menyebut ADA, Batak bilang ADONG, Minang bilang LAI, Jawa bilang ONO, Palembang sebut ADO. Kali ini Bahasa Minang yang berjalan dengan patronnya sendiri.
Sebenarnya saya mau bikin matriksnya, tapi sayang penguasaan bahasa Batak saya lemah, pun bahasa Jawa Kromo. Saya betul-betul belajar dari pergaulan, sehingga yang muncul di otak hanya yang lapis-lapis pergaulan saya. Yah, setidaknya kalau saya beli Lapo, pas mbayar bisa bilang “SADIA?”, kalau beli sate Padang bisa tanya “BARA, DA?”, kalau beli pempek bilang “BRAPO KAK?”, kalau beli nasi uduk bisa tanya “SABARAHA?”, dan kalau ke Mart-Mart nggak usah tanya, dia bisa bilang jumlahnya sendiri.. Percaya atau tidak, itu sudah saya lakukan di Cikarang sini. Hehehehehehe..
Kita punya unik, itu value, itu perbedaan. Tapi perbedaan baiknya tentu memperkaya, bukan malah memperkosa satu sama lain. Iya kan? Saya yang pernah mencicipi beberapa budaya itu, merasakan nikmatnya memperkaya diri dengan keunikan yang ada di kita. Tapi kenapa di luar sana banyak yang keukeuh pada kesukuannya, menganggap yang lain itu inferior, tidak baik, harus dihambat, dan sebagainya?
Kalau kata Romo Hari (sumpah saya kangen ikut misanya dia), jawabannya dalam hidup kita masing-masing.
Semangat!!!

Halaman Pertama Kompas.com

Masuk di halaman pertama kompas.com, rubrik Kompasiana. Fiksi: sudut terakhir :)

Tentang Hati

Original Post 7 Februari 2012

Ini soal hati. Mengapa sih memaksakan hati? Hati itu bikin nggak nyaman kalau dipaksa. Termasuk ketidaksesuian hati adalah pemaksaan terhadap pilihan. Atau terpaksa oleh keadaan.
Ketika hati sudah dilepaskan dari belenggu pemaksaan, maka hati perlu mencari tautan lain. Atau bukan lain, tapi tautan yang sebenarnya dia inginkan.
Nah, bagaimana hati ini mau nyaman kalau kemudian si tautan yang diinginkan itu sebenarnya lagi galau sama hati yang lain?
Nggak bisa ya hati yang galau menyembuhkan hati yang galau?
Nggak salah sih, hati galau itu kan juga mencari hati yang dia inginkan. Kalau kemudian hati galau itu adalah tautan hati yang diinginkan, maka jadi rempong urusannya.
Jadi bagaimana?
Apakah hati galau itu perlu dipaksa mengikuti kata hatinya? Opsinya dua, bisa sembuh, atau malah tambah galau. Atau hati yang mencari tautan kemudian berupaya menggaet hati galau dan meluluhkannya sehingga nantinya tidak sama-sama galau.
Sederhannya, “kamu galau karenanya, aku galau karenamu”
Kira-kira begitu sih..
Karena konsep mencintai dan dicintai itu tidak memiliki definisi yang baik kalau subjeknya berbeda.
Itu dia.
Mudeng nggak?
Semoga nggak mudeng ya.. Hehehe..

Cerita Alfa: Sebuah Perjalanan Panjang

Original Post 17 April 2012

12 Juli 2011 file itu dibuat, dimulai dari sebuah kisah karena melihat sebuah foto lawas.
Sebuah perjalanan panjang kemudian berlangsung sesudahnya. Mulai dari terbengkalai akibat capek kerja, hingga sengaja dilupakan karena ada proyek lain.
Dan kini, Cerita Alfa mendekati akhir perjalanannya. Sebuah kisah panjang itu susah selesai ditulis.
Nanti pelan-pelan saya posting disini ya. Karena nggak semuanya layak konsumsi publik tanpa edit ulang, mengingat Cerita Alfa banyak menyinggung tentang keluarga jauh saya. Dan sepenuhnya saya tidak ingin ada kebencian.
Jangan lupa kunjungi tag ‘ceritaalfa’ untuk mengetahui, siapa sih Alfa itu? Oke? Hehehe..
Salam!