Sunday, December 29, 2013

Biar Ku Simpan-Capucino

Teringat dirimu lagi saat ku membuka mata ini
tak mampu terpisah bayanganmu di sanubariku
tak pernah aku sesali saat aku mulai jatuh cinta
tak akan ku ingkari, sumpah mati kan selalu ada di sampingmu
reff:
dan biarlah ku simpan perasaan ini
menutup hatiku pada cinta yang lain
bila akhirnya ku temukan cinta sepertimu
mungkin ku bisa lanjutkan hidupku
-0-
Sajak ngenes ngene? Astojim.. :’(

Future

Waktu, jangan berharap untuk memutar waktu, karena ia memang tidak untuk diputar.
Ia akan berjalan sesuai jalannya sendiri, ke depan, menuju…. masa depan..
Fiuhhh..
Apa yang harus kusebut tentang masa depan? Apa teman?
Apakah masa depan yang kamu maksud itu, hidup berkelimpahan, damai, mati masuk surga? Itukah?
Ataukah masa depanmu adalah mimpi-mimpimu? Mimpi-mimpi yang menghidupimu?
Atau apa?
Pertanyaan ini berkecamuk di dalam kepalaku, ketika kedua mataku dan kedua telingaku mendapat rangsang sesuatu
Apa yang aku lihat, dan apa yang aku dengar..
Lantas apa? Apa mimpi-mimpiku? Apa yang menghidupiku, sehingga aku bisa mengikuti sang waktu dengan riang gembira
Gejolak dan kecamuk yang mungkin nggak penting, nggak urgent, dan nggak-nggak lainnya
Sang waktu telah membawaku pada titik ini, ketika aku menulis ini
Ada hal-hal yang mungkin memang tidak bisa digapai, ada yang mungkin tapi tak seketika, tapi banyak hal yang mungkin
Mimpi, menghidupi kita, menemani perjalanan kita dengan gambaran indahnya
Menyahut gejolak dengan paparan nikmatnya, dengan gelora kepuasan, yang KELAK akan kita dapati
Jadi,
Apa mimpimu kawan? Apakah jalanmu kini sudah menuju kesana? Apakah mimpi itu menghidupimu, atau justru membunuhmu perlahan?
:)

Yang Lambat Pasti Akan Menangis

Bila kata-kata tak lagi menjadi bermakna, apalagi yang kulakukan
Bila syair dan nada tak jua lumpuhkan hatimu, apalagi yang kulakukan
Seluruh jiwa raga kuserahkan hanya kepadamu semangat hidupku
Apa saja pasti kan kulakukan hanyalah untukmu harapan hidupku
Bila semua daya tlah kukerahkan tuk hatimu, apalagi yang kulakukan
(Jikustik-Apalagi Yang Kulakukan)
* * *
Apalagi yang kulakukan?
Memangnya aku sudah berbuat apa, sehingga aku harus berkata “Apalagi?”
Yah, anggap saja aku tidak melakukan apa-apa!
Hmmm…
Sebenarnya, tidak sesederhana itu sih..
Sesungguhnya semuanya menjadi sangat kompleks, sehingga tampaknya aku tak layak bertanya “Apalagi?”
Garis-garis lengkung permainan rasa dan imajinasilah yang melenyapkan kepantasanku..
Dan soal yang utama adalah, bahwa aku berbuat, aku pantas bertanya “Apalagi?”, tapi soalnya adalah: aku terlambat..
Kepantasanku bertanya, pun semua yang telah aku lakukan memudar oleh keterlambatanku..
Keterlambatan untuk mengatakan isi syair dan nada
Pantas saja hatimu tak lumpuh, karena kamu tidak pernah mendengar syair dan nada yang kugubah untukmu..
Huffft..
Dan keterlambatan terbaik adalah keterlambatan yang berulang
Terbaik, kenapa?
Ia berulang semata karena garis kita kebetulan bersinggungan, dan ketika itu terjadi berulang, artinya kosmos berkehendak
Itu baik, dan keterlambatan berhasil memumpuskan kehendak kosmos
Pudar sekejap dan hilang
Hmmm..
Menangis tak selalu soal air mata bukan?
Menangis mungkin bisa serupa jeritan hati, menyesal karena terlambat..
Aku hanya bisa belajar, yang terlambat hanya bisa menangis!
Dan aku hanya berharap, garis itu akan bersinggungan lagi
Kelak, entah kapan..
*Cikarang, 24 Juli 2011 dinihari

Keunikan Adat (tentunya masih versi saya)

Original Post 9 Juli 2011

Akhir-akhir ini tiba-tiba otak saya sangat produktif. Tapi sebenarnya ini gejala umum sih hehehe.. Setiap kali saya berada dalam suasana menganggur, menunggu, atau dalam perjalanan, ide-ide lari-lari di kepala. Cuma belakangan ide itu muncul dengan urutannya, bukan sekadar ide-ide liar yang sulit ditangkap dan kemudian hilang ditelan sentrum memori yang lain.
Hari ini saya servis si BG, sebuah benda yang dengan jelas dan gamblang menahbiskan saya sebagai PRIA BERKHARISMA. Silahkan dimaknai sendiri maksudnya.
Tiba-tiba saja sisi-sisi keunikan adat yang pernah saya tangkap, muncul. Hmmm… Baiklah untuk coba dikompilasi.
Sekilas info, bapak saya orang Jawa (galur murni), mamak saya orang Batak (galur murni) juga, lantas saya galur wistar? Oh no, itu mah tikus. Saya campuran Jawa-Batak, dan sebagai tambahan saya lahir dan besar di Bumi Minangkabau. Hehe.. Plus, ada tambahan pernah dua tahun ada di Bumi Sriwijaya. Setidaknya, ada 4 adat yang bisa saya padu padankan disini.
Iseng-iseng pertama, bahwa bahasa Batak itu lebih unik. Mengapa? Karena saya sulit menguasainya? Ya jelas bukan. Tapi pattern bahasa dan adat dari Batak sendiri memang sudah berbeda. Coba jalan ke lapo-lapo tuak, biasanya ada silsilah keluarga besar Batak disana, luas sekali, berawal dari Yang Mulia Si Raja Batak. Inilah yang menyebabkan, setiap kali orang batak bertemu, yang ditanyakan adalah marganya. Kenapa? Ada kemungkinan sama, dan jika sama itu berarti bersaudara. Sesama Sinaga misalnya, tidak boleh kawin. Itu yang saya heran lihat di tivi-tivi atau di berita singkat ketika suami dan istri sama-sama bermarga Nasution. Emang boleh? Aya-aya wae. Dan jangan lupa, tidak sekadar sesama marga. 2-3 marga punya persaudaraan sendiri, saya sebagai Simamora misalnya, nggak boleh lirik-lirik ke marga Manurung (itu pesan Bapak Manurung yang saya temui di Nias, asli, bukan rekayasa). Karena kedua marga ini masih dalam satu kesatuan.
Hal kemargaan dan kesukuan juga ada di Minangatamwan. Tapi dengan jumlah yang lebih sedikit karena asal mulanya adalah dari suatu daerah, kalau Batak tadi, dikisahkan dari orang. Daerah tidak bertambah besar, tapi orang bisa beranak-pinak. Minang cuma ada satu lapis, tapi kalau Batak, berlapis-lapis, Simamora saja ada beberapa macam. Heleh-heleh. That’s Unique!
Iseng-iseng kedua menghasilkan fakta, bahasa punya pertalian kemiripan. Tapi ada yang bisa melenceng. Sebutlah TIDUR, dalam bahasa Jawa bisa kita kenal dengan SARE atau kasarnya TURU. Dalam bahasa Batak dikenal dengan MODOM. Secara Minang ada yang spesifik LALOK. Kalau Palembang punya ada TEDOK. Kita lihat Jawa dan Batak punya jalan sendiri, sementara LALOK sangat mendekati LELAP, dan TEDOK juga sangat mendekati TIDUR.
Lalu untuk menanyakan KEMANA. Di Batak ada TU DIA, Minang ada KA MA, di Jawa NANG NDI, di Palembang KEMANO (dengan lafal E yang nyaris tidak diucapkan).  Bahasa Batak agak mirip Inggris malahan. Sementara yang lain punya jalannya sendiri-sendiri.
Atau misal lagi, menyebut ADA, Batak bilang ADONG, Minang bilang LAI, Jawa bilang ONO, Palembang sebut ADO. Kali ini Bahasa Minang yang berjalan dengan patronnya sendiri.
Sebenarnya saya mau bikin matriksnya, tapi sayang penguasaan bahasa Batak saya lemah, pun bahasa Jawa Kromo. Saya betul-betul belajar dari pergaulan, sehingga yang muncul di otak hanya yang lapis-lapis pergaulan saya. Yah, setidaknya kalau saya beli Lapo, pas mbayar bisa bilang “SADIA?”, kalau beli sate Padang bisa tanya “BARA, DA?”, kalau beli pempek bilang “BRAPO KAK?”, kalau beli nasi uduk bisa tanya “SABARAHA?”, dan kalau ke Mart-Mart nggak usah tanya, dia bisa bilang jumlahnya sendiri.. Percaya atau tidak, itu sudah saya lakukan di Cikarang sini. Hehehehehehe..
Kita punya unik, itu value, itu perbedaan. Tapi perbedaan baiknya tentu memperkaya, bukan malah memperkosa satu sama lain. Iya kan? Saya yang pernah mencicipi beberapa budaya itu, merasakan nikmatnya memperkaya diri dengan keunikan yang ada di kita. Tapi kenapa di luar sana banyak yang keukeuh pada kesukuannya, menganggap yang lain itu inferior, tidak baik, harus dihambat, dan sebagainya?
Kalau kata Romo Hari (sumpah saya kangen ikut misanya dia), jawabannya dalam hidup kita masing-masing.
Semangat!!!

Halaman Pertama Kompas.com

Masuk di halaman pertama kompas.com, rubrik Kompasiana. Fiksi: sudut terakhir :)

Tentang Hati

Original Post 7 Februari 2012

Ini soal hati. Mengapa sih memaksakan hati? Hati itu bikin nggak nyaman kalau dipaksa. Termasuk ketidaksesuian hati adalah pemaksaan terhadap pilihan. Atau terpaksa oleh keadaan.
Ketika hati sudah dilepaskan dari belenggu pemaksaan, maka hati perlu mencari tautan lain. Atau bukan lain, tapi tautan yang sebenarnya dia inginkan.
Nah, bagaimana hati ini mau nyaman kalau kemudian si tautan yang diinginkan itu sebenarnya lagi galau sama hati yang lain?
Nggak bisa ya hati yang galau menyembuhkan hati yang galau?
Nggak salah sih, hati galau itu kan juga mencari hati yang dia inginkan. Kalau kemudian hati galau itu adalah tautan hati yang diinginkan, maka jadi rempong urusannya.
Jadi bagaimana?
Apakah hati galau itu perlu dipaksa mengikuti kata hatinya? Opsinya dua, bisa sembuh, atau malah tambah galau. Atau hati yang mencari tautan kemudian berupaya menggaet hati galau dan meluluhkannya sehingga nantinya tidak sama-sama galau.
Sederhannya, “kamu galau karenanya, aku galau karenamu”
Kira-kira begitu sih..
Karena konsep mencintai dan dicintai itu tidak memiliki definisi yang baik kalau subjeknya berbeda.
Itu dia.
Mudeng nggak?
Semoga nggak mudeng ya.. Hehehe..

Cerita Alfa: Sebuah Perjalanan Panjang

Original Post 17 April 2012

12 Juli 2011 file itu dibuat, dimulai dari sebuah kisah karena melihat sebuah foto lawas.
Sebuah perjalanan panjang kemudian berlangsung sesudahnya. Mulai dari terbengkalai akibat capek kerja, hingga sengaja dilupakan karena ada proyek lain.
Dan kini, Cerita Alfa mendekati akhir perjalanannya. Sebuah kisah panjang itu susah selesai ditulis.
Nanti pelan-pelan saya posting disini ya. Karena nggak semuanya layak konsumsi publik tanpa edit ulang, mengingat Cerita Alfa banyak menyinggung tentang keluarga jauh saya. Dan sepenuhnya saya tidak ingin ada kebencian.
Jangan lupa kunjungi tag ‘ceritaalfa’ untuk mengetahui, siapa sih Alfa itu? Oke? Hehehe..
Salam!

Terlalu Indah

10 April 2012

Kita harus menerima bahwa memang tak ada kisah yang bisa sempurna
Seperti yang slalu diimpikan dan mimpi tak slalu jadi kenyataan
Ada awal dan ada akhirnya yang mungkin tak dapat terurai semua
Ada duka ada bahagia yang mungkin tak akan pernah dapat terlupa
Dan hatiku berkata
Selamat Jalan kekasih
Manis yang berujung perih
Kisah yang sungguh terlalu indah
Kini semua berakhir sudah
Selamat Jalan kekasih
Walau teramat sangat perih
Namun aku pasti coba
Untuk jalani semua
Tiba-tiba saja ingat lagu ini waktu ngunci pintu kos. Lagu galau jaman dahulu kala oleh The Rain. Hehehehe.. :)

Ketika Nama Saya Jadi Tambah Panjang :)

Original Post 8 April 2012

Nama saya itu sudah panjang dan menjadi panjang di link berikut:
Ora opo-opo, nama saya jadi panjang sendiri, malah lebih asyik. Hehehehe..

Tidak!

Original Post 3 April 2012

Dari awal saya janji untuk tidak nge-blog soal kerjaan dalam arti mengeluh. Sebenarnya tidak tertahankan sih, bukan mengeluh loh, tapi membandingkan :)
Banyak kasus, seseorang hanya tahan hitungan bulan di company kedua-nya. Kenapa?
Kalau di awal, kita masih unyu, yang penting kerja! Dan ketika sudah settle, dipercaya ini itu, kita ingin lebih lalu pindah. Dan ketika pindah, yang terbayang adalah kemapanan di tempat lama? Hasilnya? Mengeluh, mengeluh, dan mengeluh. Itu yang saya berusaha tidak lakukan di blog ini. Mengeluh sih pasti ada, dan itu paralel dengan syukur.
Sebuah pilihan tidak selalu berkonsekuensi bagus sempurna atau jelek seutuhnya kan? Balance lah..
Yang pasti ada sisi positif dan negatif di tempat yang lama dan yang baru. Ada pelajaran baru, ada kerinduan lama.
Ah, itu biasa. Jadi mau mengeluh soal pekerjaan? Tidak ah! :)

Komunikasi

Original Post 25 Juni 2012

“Ketika semua media komunikasi ada, kenapa komunikasi masih saja tidak bisa terjalin dengan baik?”
Kutipan yang diambil dari salah satu twit yang nongol di TL saya ini setidaknya merefleksikan sebuah keisengan, atau mungkin penyalahgunaan social media, dalam berkomunikasi.
Jadi ceritanya kemarin itu saya melakukan komunikasi via telepon, via message facebook, via direct message twitter, via Whatsapp, dan terakhir via Yahoo Messanger.
See? Lima jenis percakapan, pada saat yang sama, dan yang paling ra cetho adalah fakta bahwa saya melakukannya dengan orang yang sama.
Yah, ini sebatas percobaan belaka sih.
Apa yang terjadi?
Satu hal, melelahkan. Okelah ada teknologi headset yang memungkinkan tangan saya berkeliaran, ditunjang HP yang bisa disambi beraktivitas lain selain bertelepon ria, plus sebuah laptop menyala dengan koneksi yang lumayan. Tapi nyata-nyata, hal itu membuat saya lelah.
Yak, social media telah menjelma menjadi sarana untuk berkomunikasi. Bahkan kini orang mau menikah bisa mengundang via FB saja. Saya beberapa kali menghadiri pernikahan tanpa ada undangan fisik, hanya invitation via FB. Atau lagi, saya bisa ikut futsal dengan Raditya Dika karena ada event #futsalbarengpembaca yang diinformasikan via Twitter.
Itulah komunikasi, ketika informasi disampaikan.
Nah, perkaranya adalah bagaimana mengelola, menyampaikan, dan menyikapi dengan bijak.
Jadi begini, beberapa hari yang lalu ketika sedang sibuk audit, saya dapat pesan Whatsapp dari seorang senior, meminta untuk mengecek FB. Dan disitu terpampang dengan jelas foto saya dan mbak mantan. Sebuah foto yang bahkan saya saja nggak punya. Entah apa maksud si pengunggah foto itu, tapi saya sih cuma PM dengan sopan, dan dengan sopan pula dibalas, dan foto itu disingkirkan dari dunia maya.
Ya itulah social media, ketika semua informasi bisa menjadi konsumsi sosial yang sayangnya kadang kita lupa untuk membuatnya tetap baik. Misal untuk kasus foto saya, apa susahnya PM saya dulu, minta izin? Daripada asal unggah dan kemudian menciptakan sedikit huru-hara di jaringan lain?
Secara lebih privat, ini juga saya coba resapi. Ketika saya melakukan uji coba komunikasi yang itu tadi, jadinya malah nggak fokus. Sambungan telepon malah dipenuhi oleh diam. YM pun semata-mata emote.
Apa intinya?
Jalinan komunikasi itu semata-mata intensitas pertukaran informasi pada awalnya. Namun perlahan itu menjelma menjadi sesuatu yang terkait dengan perasaan. Nah, karena itu, kadang memang ada hal-hal yang dipilih untuk tidak dikomunikasikan. Dan itu kemudian kadang yang menghambat komunikasi itu sendiri.
Riweuh ya?
Bahwa sebenar-benarnya komunikasi adalah ketika dua belah pihak menjadi saling memahami, jauh lebih dalam dari sebelumnya :)

Sunyi

Original Post 1 Juni 2012

Saya suka sunyi.
Saya sudah berdiam dalam sunyi.
Itu kenapa kalau dulu ada yang hobi ketawa ngakak di belakang saya, pasti saya lirik dengan ganas. Kadang mau saya lempar.
Itu juga kenapa printer di samping saya kala itu pengen saya banting.
Tapi, eh, saya kan nggak bisa berbuat apa-apa. Jadi terpaksa saya tidak bergerak apapun, meski saya tidak menikmatinya.
Nah..
Ketika sunyi itu sudah saya peroleh.
Ketika sunyi itu sudah menjadi jawab atas segala tanya di kepala saya.
Ketika itu pula sunyi itu (segera) lenyap.
Dan lagi, saya tidak bisa berbuat apa-apa.
Ah, sunyi, kapan lagi kau tiba?

Pret Adalah Pret

Original Post 19 April 2012

Yah, pret memang pret.
Termasuk kamu.
Suka-suka kamu mau bilang apa.
Ya pret.
Tidaklah perlu kamu ide macem-macem.
Kamu itu pret kok.
Itu sama saja kamu buang energi.
Aku tidak akan dengar kamu.
Karena kamu itu pret.
Jadi lebih baik, silahkan diam saja.
Ehm, bahkan diam pun kamu salah loh pret.
Pergi aja kali ya?
Silahkan.
Salam pret.
*derita makan pedas*

Friday, December 27, 2013

1

Original Post 10 Juli 2012

Aku hendak menanti sampai waktunya, tapi suaramu sudah menyuratkan lelah. Ini pasti hari yang melelahkan buatmu, jadi ya sudah. Biarkan dirimu melayang di alam mimpi, disana sudah ada aku menunggu. Kita akan bersama-sama menjalani alam mimpi yang pastinya akan sangat indah :)
Malam berganti pagi ketika aku menulis ini. Malam yang semestinya biasa saja, tampak segera menjadi istimewa.
Yak, persis 1 bulan lalu kamu membiarkan hatimu dimasuki oleh benda absurd berwujud aku. Persis ketika angka tanggal menjelma dari satuan menjadi puluhan dengan tambahan angka 1 di depannya. Persis pula ketika jam belum menunjuk angka 1, bahkan dari 4 digit angka, baru 1 angka yang menunjuk bulan nol.
Ia menunjuk 8, itu dia, 00.08.
Siapapun tahu kalau 8 itu perkalian 2 dengan 4, dua kali empat sama dengan delapan. Lalu dua dan empat? Bukankah itu penunjuk waktu ketika kamu menemui dunia? Dan angka yang sama, delapan, menunjuk posisi bulan berada saat kamu bertemu dengan dunia. Dan bagiku, angka 8 adalah simbol keabadian, karena ia adalah angka yang tanpa putus.
Satu kali sang bulan berputar mengelilingi bumi. Mungkin itu baru singkat, tapi aku serasa sudah memiliki bumi yang dikelilingi itu.
Satu kali sang bulan menjalani orbitnya. Mungkin itu baru saja, tapi aku merasa kamu adalah orbitku.
Satu putaran sang bulan menjalani takdirnya. Entah mengapa, aku menganggap kamu adalah takdirku.
Dan bahwa aku sungguh berdoa kepada Tuhan bahwa 1 ini tidak akan semata-mata menjadi 1. Aku berdoa agar 1 ini menjelma menjadi 2, 3, dan segala angka lain yang mungkin. Atau bahkan bila ada angka yang dapat menjadi simbol untuk ‘selamanya’, aku berdoa untuk itu.
Selamat 1 kali bulan berputar. Selamat 1 kali tanggal berulang. Apapun dimulai dari 1, dan aku yakin ini sebenar-benarnya sebuah permulaan. :)
* * *
Tangan separuh kekar itu mengusap manis kepala seorang gadis yang sedang tersenyum dalam lelap. Mulut lelaki itu merapalkan deretan kata yang barusan ia tulis. Ia tak peduli kalau ini tengah malam.
Faktanya, mencintai memang tidak bisa menunggu (Ibuk, 2012).

Menikmati Hidup

Original Post 18 September 2012

Am I enjoy my life?
Hidup manusia itu sebenarnya cuma terdiri dari beberapa bagian besar. Lihat saja.
24 jam. 8 jam sudah buat tidur. Sisa 16 jam.
Dari sisa 16 jam itu, mayoritas akan dipakai ke rutinitas: kerja, kuliah, sekolah, atau harian lainnya.
Jadi?
Yah disitulah, rutinitas itulah yang akan menentukan kita menikmati hidup atau tidak.
Oke, simpel dan sepele. Apa saya menikmati hidup saya? Dalam banyak kasus, terutama sejak kerja, ya nggak. Lha ya enak hidup mahasiswa lho, belajar dan main. Kalau kehabisan duit, tinggal minta. Enak kan?
Ah! Itu yang enak. Yang nggak ya banyak.
Nah, soal bekerja ini rada ribet.
Kadang kita bekerja ya karena memang butuh bekerja. Meski kadang sangat berlawanan dengan hati nurani. Kadang saking nggak kuatnya perlawanan, muncul keputusan ekstrim. Jobless misalnya.
Banyak kasus di beberapa kali saya bertemu orang, ketakutan akan jobless adalah isu besar. Tentu, job itu terkait incomedan itu relevan dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Nah, sekarang jadi bias. Kita kerja untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, atau karena hendak berkarya? Hidup ini jadinya dinikmati atau diapakan?
Pertanyaan yang selalu relatif. Tapi kalau saya sih, sekarang-sekarang ini, yang penting bisa bikin bahagia orang lain. Nggak peduli saya dibilang “nggak ada kerjaan”.. hahahaha… :)
Oke, semangat!

Hasil

Original Post 28 September 2012

Bulan September ini berakhir. Yah, dalam definisi karyawan, bulan itu berakhir kalau sudah gajian :)
Apa HASIL dari bulan ini? Mari kita kulik satu per satu.
Bulan ini saya berbuat kesalahan besar terkait menerjemahkan sebuah kata dalam Whatsapp yang kemudian membuat saya kehilangan sesuatu (atau seseorang?) yang penting. Penyesalan? Pasti. Terpuruk? Jangan. Saya manusia, saya bisa salah, dan toh saya tidak berniat berbuat salah. Pada intinya sih berharap keadaan normal kembali.
Kerjaan juga variatif. Ada-ada saja. Eh, tapi blog ini nggak mau bahas soal kerjaan kan? Hehehehe..
Lalu saya kemudian harus benar-benar membagi isi otak. Saya nggak bisa mengikuti semua event yang menuntut saya harus menulis banyak hal untuk sesuatu yang nyata-nyata belum. Tapi, gimana ya, menulis itu proses. Cuma memang ada yang harus saya prioritaskan. Mata ini sudah lelah seharian bekerja di depan monitor, kalau saya paksa menulis dengan target yang melampaui kemampuan mata saya berhadapan dengan monitor, bisa berabe. Saya mulai berpikir untuk melepas 1 event. Sepertinya sih begitu.
Satu hal yang pasti, saya harus menjadi semakin dewasa setelah bulan yang lewat ini. Dewasa dalam memutuskan, dewasa dalam berbuat, dan dewasa dalam melihat semuanya. Itu sebenarnya hasil yang lebih penting dari setiap proses pembelajaran lewat hidup yang dilakoni sehari-hari.
Bukan begitu?
:)

Peraturan

Original Post 19 Sep 2012

Lagi dunia ini suram.
Aidah!
Hahahaha.. Ya, something yang disebut peraturan. Isunya nggak masalah. Tapi kalau sebuah reminder itu dikeluarkan dari makhluk yang sama dengan yang meminta pengecualian.
Opo bener kuwi?
Yah, sesuatu yang jarang di dunia ini disebut KONSISTENSI.
Percayalah bahwa sebuah laboratorium pun disertifikasi guna menjamin konsistensi. Sebuah metode divalidasi juga untuk menjamin konsistensi. Bahkan performa pun dipantau. Untuk apa? Untuk menjamin konsistensi.
Lha misal sekali waktu saya kiper tepas tepis sana sini, sekali waktu lain luput. Ini yang disebut tidak konsisten.
Ya, semacam itulah kira-kira adanya. Adanya? Memang ada apa?
Lha saya sendiri bingung. Hahahaha..
Dan semakin suram saja.
Seperti tiada masa di depan mata

Nggak Ada Kerjaan

Original Post 17 September 2012

Setiap kali bertemu kawan lama dari seberang sana, saya selalu digoda soal “nggak ada kerjaan”. Well, entahlah, tapi seorang teman bilang bahwa ada yang mempropagandakan bawa saya sekarang “nggak ada kerjaan”. Sungguh propaganda yang sukses, karena setiap kali ketemu kawan lama, mereka selalu menyimpulkan bahwa saya “nggak ada kerjaan”.
Hahahahahahahahaha…
Suka-suka lah.. Saya nggak ngerti juga maksudnya kenapa saya harus dipropagandakan seperti itu. Sepenting itukah saya, seekor kroco ini? Nggak juga to?
Kalau patokannya update status atau komen-komen, ehm, handphone mungil saya bisa digunakan untuk sekadar update status, ngetwit, dan lainnya sambil saya jalan, sambil saya ganti sepatu, sambil saya mengecek keadaan. Apakah aktivitas dunia maya harus jadi patokan produktivitas kerja?
Yah, setidaknya saya nggak youtube-an deh. Youtube-an itu nggak bisa dilakukan di sembarang HP, umumnya kudu lewat unit PC atau laptop. HP saya bisa, tapi kuotanya yang nggak kuat. Siapa tahu nih, ada yang hobi Youtube-an pas jam kerja? Bertobatlah, nak! *ehhhh*
Saya mah luweh. Sejak pulang kemarin saya sudah luweh. Kata Bapak, kerja aja yang bener. Ya udah, saya mikirnya gitu aja. Nggak usah mikir yang lain, nggak usah mikir orang lain ngapain.
:)
*masih karena nggak bisa tidur*

Suram

Original Post 12 Sep 2012

Mandan suwi, mandan suram
Yah begitulah, saya jadi teringat ucapan seseorang yang sangat saya hormati dulu (tentunya sampai sekarang). Pada hari terakhir saya ketemu beliau, dia bilang, “itu bagus, tapi kalau nggak hati-hati, bisa bahaya.”
Dan makin lama, ya makin suram deh.
Ya, suram.
Suram adalah ketika kita menyikapi suatu upaya compliance dengan tidak wise. Ya, compliance tidak layak disikapi dengan mencari cacat dan berharap dengan mengangkat cacat itu bisa berujung ke penerimaan terhadap sebuah pengecualian.
Suram adalah kondisi ketika pembuat aturan tidak lagi menganggap aturan itu penting. Suram juga ketika pembuat aturan menganggap ia tidak masuk dalam ruang lingkup aturan itu sendiri. Suram juga adalah keadaan ketika peraturan menjadi hilang makna.
Suram adalah kondisi ketika culture yang dibentuk itu perlahan hancur remuk redam, justru oleh pihak-pihak yang bertanggungjawab pada terlaksananya culture itu.
Suram.. Asli suram..
Mau jadi apa kalau begini?

Yuk, Perang Yuk!

Original Post 4 Sep 2012

Bersyukurlah saya dididik di sebuah lingkungan yang sip banget untuk mengajari bekerja dengan performance based.
Bersyukurlah sebab saya dididik berada dalam sebuah tim yang saling support alih-alih menonjolkan diri sendiri.
Bersyukurlah karena saya dilatih untuk kuat dalam hal ‘konflik’ horizontal, dan bagaimana bisa bertahan plus memenangi ‘pertandingan’.
Bersyukurlah saya dididik untuk tidak ABS (asal Bapak senang).
Bersyukurlah saya diajari untuk menyikapi masalah dengan aksi, bukan wacana.
Bersyukurlah saya dilatih untuk tidak menyalahkan orang dalam 1 tim ketika ada sebuah masalah.
Bersyukurlah sebab saya dididik berada dalam perubahan.
Bersyukurlah sebab saya pernah ada dalam sebuah perkara besar bernilai miliaran.
Bersyukurlah karena di usia belia, saya sudah pernah merasakan hendak gila, dan kemudian tersenyum bangga di akhir.
Bersyukurlah karena semua itu adalah modal besar.
Bersyukurlah karena saya bisa memakai semua modal ini, kalau ada yang mengusik saya untuk berperang.
Mau perang? Yuk!
:)

-___-”

Original Post 23 Oktober 2012

Sudah berapa lama blog ini tidak disentuh? -__-”
Sudah sejak tanggal 8 Oktober, sudah lama sekali.
Ah, masak?
Ya, silahkan melihat riwayat blog ini di 2012, tidak pernah ada bulan dengan post di bawah 10. Dan kini? Dengan post ini, baru jadi 4. Fiuhhh..
Yah, bulan ini terhitung pelik dan berat, sebenarnya, plus juga menyenangkan.
Tapi, entah ada suatu hal yang kemudian membuat saya semacam tidak ada niat untuk menjamah blog ini, sebelum semalam tersadar. Ya, ada 2 pekan terlewat tanpa satu karya-pun! Mau jadi apa saya kalau begini?
-___-”

Menikmati Agama

Original Post 27 Dec 2012

Entah ya, hari-hari gini kok hidup beragama di Indonesia itu macam ngeri saja. Ada yang sampai diguyur kotoran gegara beribadah.
Saya lalu membawa konteks kehidupan perbedaan agama ini ke kehidupan saya sehari-hari. Ya, saya ngekos di sebuah tempat yang asyik. Ada 4 orang Katolik dan 4 orang Muslim. Adil, impas. *halah, kayak apa aja*
Dan kehidupan kami sungguh berdampingan. Kalau ada yang mau sholat, ya yang lagi menghidupkan musik dengan volume keras yang dipelankan. Kalau baru pulang hari Minggu, ditanyain, “dari gereja?”
Main PS bareng, dolan (kadang) bareng juga. No issue tentang perbedaan.
Lalu kemarin saya pulang agak malam nih, dari arah mushala terdengar lantunan merdu. Bukannya serem lho, tapi justru indah. Iya, teman saya yang satu ini sedang duduk mendaraskan ayat-ayat dengan melodi yang jadinya indah. Tertegun juga sih, secara semua orang sudah pada pulang dan mungkin tinggal OB yang tersisa, eh bapak satu ini ada di mushala dan menyisihkan waktunya untuk ‘bersama’ Tuhan.
Well, ini poin saya. Apapun agama kita, sejatinya berpulang ke diri kita sendiri. Apa yang kita rasakan ketika memeluk agama itu, apa yang kita rasakan ketika melakoninya. Seorang teman saya bilang, “selama baik menurutku, aku nggak akan berpikir tentang orang lain.”
Kalau Irfan menikmati malam harinya di kantor dengan cara seperti itu, toh nyatanya saya menikmati menyanyi sebagai koor di gereja. Kalau Mas Santo menikmati sholat-nya di mesjid alih-alih di kos, saya toh juga menikmati indahnya konsekrasi. Semua menikmati dengan cara masing-masing kan?
Buat saya itu lebih baik daripada mengusik orang lain, apalagi ketika mereka sedang ‘bersama’ Tuhan. Agama itu soal hubungan kita dengan Tuhan alias sifatnya vertikal. Dan bukanlah ranahnya kita mengurusi hubungan orang lain dengan Tuhan.
Sekian! :D