Friday, December 27, 2013

Apa Salahnya Menderita?

Original Post 10 Juni 2013

Dua homili yang sama dari 1 romo dalam rentang 40-an jam, dengan konten yang serupa pula.
Opo ora njuk ngletek kuwi?
Salah satu yang menjadi konten homili itu adalah, “apa sih salahnya menderita?”
Dan 3-4 jam sesudah mendengar homili yang kedua, saya mendengar pengamen ngobrol sama tukang tisu.
“Yang jelas ki (maksudnya aki, si bakul tisu udah tua soalnya), anak jangan sampai ikut ke jalanan gini deh.”
Semacam tersambung ya.
Mari berkaca sedikit ke keluarga sendiri. Dari hikayat tanah Batak sana, saya keturunan petani merangkap bakul tuak. Jadi kalau malam ke sawah, kalau pagi jaga pakter.
*kebalik*
Emak saya kalau siang akan angkat-angkat kayu dll di sawah, lalu malamnya jadi pelayan di pakter milik Opung saya.
Dari hikayat tanah Jawi, saya cuma tahu kalau sekolahnya Bapak saya itu juauhhh sekali dari rumah.
Mereka berdua mencapai gelar S1-nya sendiri. Dan itu yang ditekankan ke saya. Bahwa mereka nggak ingin anaknya harus mencapai gelar S1 sendiri. Semacam itu sih.
Dalam rangka saking sayangnya sama anak, maka ya mirip-mirip dengan yang saya iri hatikan ke adek saya si bungsu sih. Ketika dia nyaris nggak perlu bungkus es untuk sekadar jajan, nggak perlu naik Ikabe untuk sekadar pulang. Sesuatu yang pernah saya sebut penderitaan.
Menderita ketika anak-anak lain bermain, saya bungkus es. Ketika anak-anak lain diantar jemput orang tuanya, saya naik Ikabe.
Tapi, benar kata empunya homili, penderitaan itu memperkuat. Yah, walaupun apa yang saya alami itu hanya secuil banget dari penderitaan anak yang kudu nyeberang titian di atas kali besar. Tapi tetap, ada poin yang memperkuat.
Makanya nih, saya lantas menginventarisasi ‘derita’ apa sih yang saya alami dulu.
Ternyata nggak banyak, dibandingkan yang lain.
Saya hanya pernah beberapa kali Bukittinggi-Jogja naik bis. Sesuatu yang sudah saya sebut menderita.
Saya hanya pernah diam di ‘rumah penuh derita’ (lihat kisah Alfa untuk detailnya), selama sekitar 5 tahun. Sesuatu yang juga sudah saya sebut menderita.
Tapi, kalau nggak begitu, apa iya saya akan seperti sekarang? Seorang manusia yang bisa survive di dalam kesendirian selama nyaris 12 tahun?
Jadi memang, menderita itu sama sekali nggak salah termasuk derita menjomblo. Yang penting, bagaimana setiap penderitaan itu memberikan kita langkah maju untuk memperbaiki hidup.
Amin. *malah homili ki piye?*
YahYassss

No comments:

Post a Comment