Ini kali ketiga saya ngedit naskah (calon) buku. Dan rasanya masih
antik. Iya, saya yang sarjana farmasi apoteker ini malah ngedit naskah.
Yah, naskah sendiri sih, sebelum dikirim ke penerbit.
*masih berupaya kembali ke jalur impian*
Soal ngedit-ngedit rasanya sih bukan hal baru bagi saya.
Kursus-kursus ada sedikit dulu pas kuliah. Jelek-jelek begini, saya
lulusan kursus jurnalistik angkatan sekian (sertifikatnya ada di kos),
yang diselenggarakan sama kampus. Lalu saya juga ngedit beritanya Cas
Cis Cus pas kelas 2 SMA. Juga ngedit Pharmaholic, waktu saya pegang
majalah itu.
Untuk naskah buku, yang pertama saya edit adalah proyekan inisasi
saya sendiri, buku “Aku dan Cantus Firmus”. Mengumpulkan sekian tulisan
itu ternyata ribet. Belum lagi atur-atur margin, menyamakan font dan
lainnya. Kebetulan sih, saya nggak mengedit konten, karena merasa nggak
berhak saja sih. Apa ini buku dijual saja ya waktu konser reuni?
Hahahahaha.
Lalu kedua, pas ngedit Oom Alfa. Itu adalah pengalaman ngedit paling
asyik. Sampai kemudian saya sampai pada keputusan print–kemudian beli
printer. Kurang niat apa saya jadi penulis coba? Untuk urusan macam itu
saja, saya sampai beli printer. Sekarang? Ngonggok aja itu di kosan.
Ngedit itu seru sebenarnya, tapi butuh ketelitian tingkat tinggi.
Kalau di Oom Alfa kan itu cerita pribadi saya sendiri, jadi nggak ada
isu soal ketidaksambungan.
Nah, ini yang saya alami di Lovefacture. Naskah yang hendak saya kirim ke penerbit yang sama dengan tempat saya ngirim Oom Alfa.
Lovefacture, sila klik link-nya di kanan atas blog ini, kan cerita
fiksi. Ada alur yang harus saya perhatikan dalam mengedit naskah ini.
Kalau di awal saya bilang si Destia itu karakternya begini, maka sampai
akhir ya harus begini. Konsistensi itu yang sulit minta ampun. Mana
kemudian kan saya pakai aneka sudut pandang yang justru bikin repot
sendiri waktu mengeditnya.
Deadline harus ditetapkan, dan harus kelar.
Satu hal adalah tetap meyakini bahwa saya bisa. BISA! *ini slogannya siapa sih?*
No comments:
Post a Comment