(Original post 18 Juli 2013)
Di saat hidup lagi penuh keluhan gini, saya jadi mikir. Namanya melankolis pasti akan berpikir dalam-dalam, dan kebetulan saya melakukannya.
Tiga tahun yang lalu, saya mengeluh keras-keras karena saya datang pagi pulang malam, karena semua pekerjaan bersangkut paut dengan saya. Sampai di hari liburpun saya harus masuk kerja karena memang yang bisa entri forecast itu hanya saya.
Disitu saya mengeluh, pada posisi saya dibutuhkan.
Dan yang sebaliknya juga terjadi kok, bertahun kemudian. Hehehe.
Saya jadi mikir gini. Kalau kita ada dalam kondisi yang terburuk, maka kita akan mengeluh keras-keras. Buruk itu kontekstual. Dan masalahnya, buruk itu tidak selalu sama.
Ambil contoh soal jalan rusak. Kalau si bule Andreas mengeluh soal Jalur Selatan Jawa yang penuh bolong-bolong, maka saya biasa saja. Tentu karena dia melihat jalan di Austria yang mulus, dan saya pernah lewat Aek Latong yang penuh dilema.
Atau soal naik bis. Beberapa teman mengeluh ketika naik bis ekonomi. Saya juga biasa saja, walau keluhan itu datang dari tubuh yang pegal-pegal. Saya biasa saja karena saya pernah Merak-Pemalang, hanya duduk di undak-undakan bis di bagian belakang itu lho. Kalau yang di bis blok M, yang buat duduk pengamen itu tempatnya. Dan saya duduk dari sore sampai pagi. Bahkan saya sampai nggak bisa lihat itu gedung-gedung tinggi Jakarta karena itu.
Atau juga orang mengeluh soal sumpeknya kereta api. Mungkin mereka belum pernah Cirebon-Jogja dengan duduk di perlintasan antar gerbong.
DAN SEBALIKNYA...
Saya juga tidak pernah merasakan hal buruk tertentu, yang pernah dirasakan orang lain. Sama persis. Dan di konteks itu, mungkin saya yang akan mengeluh.
Jadi, kalau saya pikir-pikir, mengeluh itu sebenarnya cukup sekali saja, ketika kita belum tahu. Saat sudah menjadi pengalaman. Hmmm, apa lagi yang perlu dikeluhkan?
Hehehe. Refleksi aja sih. Bagaimanapun, saya orang yang memang suka mengeluh. Dan semoga saya berhenti untuk mengeluh, kecuali di kesempatan pertama.
:)
No comments:
Post a Comment