Maaf teman-teman, saya bukan hendak bermaksud menganggap seseorang salah atau sejenisnya. Tulisan ini hanyalah perspektif saya saja, dan perspektif saya bisa jadi salah.
Saya tahu soal bensin non subsidi sudah lama, namun sekitar April 2010 terpana pada prinsip hidup seorang teman. Waktu itu saya menemani ngisi bensin dan dia mengarahkan sepeda motornya yang sejatinya jadul punya ke counter Pertamax. Ini kejadian di Palembang, jadi ya cuma ada Pertamina punya.
Sebuah quote bagus (menurut saya) dari teman ini adalah “saya nggak layak disubsidi negara.”
Dia teman saya sekantor, masuk 3 bulan sesudah saya. Artinya, paling tidak gajinya sama saya sama. Besar? Ah, besar atau tidak itu relatif, tapi untuk ukuran umur segitu, bisalah dibilang lumayan, cukup, sejahtera.
Sejak itu saya mencoba ngeh untuk pemakaian bensin ini, dan nyatanya, rekan-rekan lain juga ada yang setia pada Pertamax. Pada waktu itu harga Pertamax baru 6000-an (kalau tidak salah).
Ketika bulan berikutnya saya punya sepeda motor, saya langsung menerapkan prinsip itu, dia bisa kok, masak saya nggak? Gaji sama lho (dugaan sih..)
Dulu, saya memang nggak bermasalah soal isi bensin. Ya, saya berangkat kerja jalan kaki, pulang kerja jalan kaki, sudah malam pula. Nggak sempat keluar mess, sudah capek. Jadi, pengeluaran untuk bahan bakar itu masih wajar.
Dan ketika saya lantas pindah ke tempat yang sekarang, mulai terasa. Nggak jauh sih, paling 5 menit sudah sampai. Tapi tetap saja dari biasanya jalan kaki karena dekat banget dengan 5 menit naik sepeda motor itu berbeda. Dan terasa, sedikitnya saya harus keluar beberapa belas ribu seminggu untuk isi bensin. Untungnya disini banyak pilihan. Ada Pertamax, ada Shell Super. Primax? Arah SPBU-nya kurang cocok dengan aktivitas saya, jadi jarang kesana.
Awalnya saya hanya keluar 13-14 ribu per minggu. Wajar. Ketika Pertamax merangkak naik, pun Shell Super, saya mulai kelimpungan. Terakhir saya ngisi bisa 22 ribu.
Sedikit?
Tentu saja. Saya mengisi bensin kalau indikatornya sudah (masih) setengah. Saya nggak mau resiko kehabisan bensin dan harus keluar uang biru untuk full tank. No!
Mengisi Pertamax untuk sebuah sepeda motor merk Karisma tahun 2003 mungkin dipandang sok. Silahkan sih. Tapi kalau Supra 2001 saja oleh teman saya diisi Pertamax, artinya saya ada temannya, setidaknya 1. Saya malah miris kadang melihat Alphard, Pajero, atau Fortuner mampir di SPBU dengan selang KUNING. Miris banget. Entah itu orangnya yang bodoh apa ya, spek mobil mewah itu butuh ron tinggi, kenapa diisi ron rendah, kalau servis rusak, kan ya mahal juga jatuhnya? Ya kan?
Jadi begini, saya pribadi mencoba untuk sekuat mungkin menahan diri untuk tetap mengisi dengan ron 92 (Pertamax, Shell Super, Primax) sampai setinggi-tingginya harga. Karena, ketika saya simulasi, selisihnya nggak cukup banyak. Setidaknya saya bisa mengurangi makan saja untuk ini. Sekarang saya makan 2 kali sehari saja. Selain untuk mengurangi karbohidrat, juga untuk menanggulangi kenaikan harga bahan bakar yang semakin menggila 
Ini prinsip saya, nggak harus ditiru dan nggak juga benar sepenuhnya. Tapi, saya sih mau mengusik saja, masak sih dengan gaji 4-5 juta, sepeda motor baru dan bagus, masih sudi disubsidi negara? Sekarang kabarnya negara mensubsidi 1 liter bensin itu 4500 rupiah, artinya seminggu bisa jadi (kalau frekuensinya sama saya sama) dibantu negara 10 ribu rupiah. Kalikan 52 minggu, jadi 520 ribu rupiah.
Teman, selisih itu, untuk setahun lho. Jumlah segitu bahkan hanya senilai 1-2 kali LEMBUR di perusahaan besar. Masak sih masih pakai Premium juga? Kalau dibilang bahwa gaji besar kebutuhan besar, ya sama. Kalau dibilang harus bayar ini itu, ya sama.
Saya mencoba mengusik rekan-rekan yang sering saya lihat di counter Premium dengan sepeda motor bagus dan beberapa saya kenali (lewat seragam) sebagai karyawan dengan level STAFF ke atas, masihkah hendak menggunakan Premium? Biarlah jatah subsidi itu dinikmati bawahan kita, operator kita, dan sejenisnya.
Biarlah itu mengisi tanki bahan bakar penjual bandeng presto, sayur, atau bubur keliling saja.
Dan usikan lebih keras untuk pemilik mobil (mewah). Mungkin itu memang jatah kantor atau bagaimana, tapi kalaulah sudah dapat jatah mobil atau malah bisa beli mobil, mestinya sudah berhitung kan? Beli mobilnya kuat, masak beli bensinnya nggak? Ngisi 100 ribu untuk mobil itu berarti separuhnya adalah SUMBANGAN negara lho.
Saya tentu berusaha memahami bahwa kebutuhan orang beda-beda. Angsuran rumah jutaan tentu beda dengan angsuran kos saya yang cuma 375 ribu sebulan. Tapi, sekali lagi, seharusnya kita mampu lho.
Hidup memang makin sulit, tapi ada yang lebih sulit dari kita. Yang pasti sih, saya hanya mencoba dari diri saya sendiri dulu. Kalaulah saya berhasil tidak memakai Rp. 10.000 jatah orang lain setiap minggu, artinya saya tidak mengambil kembali 520 ribu dari pajak yang saya setor ke negara. Artinya, setidaknya, saya sudah punya alokasi 520 ribu yang mungkin dipakai untuk menambal lubang jalan selebar 10 x 10 cm, penahan harga beras 1 kantong plastik, atau sekadar bayar taksinya koruptor pas mau lobi di hotel.
Ah, persetan soal itu. Setidaknya memulai dari diri sendiri saja.
Maukah teman-teman ikut serta? Sekali lagi, sebisanya, sekuatnya. Setidaknya ada kemauan untuk tidak mengambil jatah orang lain. Negara ini sudah rusak oleh koruptor, janganlah kita ikut-ikutan merusaknya. Niat baik dari setiap orang akan membawa kebaikan bagi negara ini.
Terima kasih
Salam! 
No comments:
Post a Comment